Orang Kristen yang hanya mengatakan Yesus Tuhan dan Juruselamat, hidupnya tidak berbeda dengan orang yang beragama lain, bahkan bisa lebih rusak. Tetapi kalau kita melibatkan seluruh hidup kita terkait dengan status-Nya, kita tidak punya lagi ruangan untuk yang lain. Namun banyak orang tidak melibatkan seluruh hidupnya terkait dengan pengakuan itu. Jadi seharusnya, kita bukan hanya mengakui status Yesus, melainkan juga percaya akan diri-Nya, yaitu Pribadi-Nya. Dan kalau kita mengerti ini, maka kita harus mengenakan hidup-Nya. Yesus menjadi hukum kita. Kita mau kembali kepada Injil yang sejati. Ini mengerikan bagi kuasa kegelapan, sebab akan dilahirkan “kristus-kristus;” yaitu orang-orang yang berkata, “hidupku bukan aku lagi, tapi Kristus.” Kuasa kegelapan pasti berusaha untuk bagaimana menghentikan laju suara kebenaran ini.
Tapi bagi kita yang memiliki nurani yang dipimpin Roh Kudus, harus bisa membedakan antara dusta dan kebenaran. Kita harus menjadi misionaris Tuhan. Kita harus membuktikan keberadaan-Nya dalam hidup kita. Tuhan berkata, “Berjuanglah masuk jalan sempit.” Jika demikian, mengapa kita bisa menganggap ini hal yang mudah? Dalam Injil Yohanes 6:27-29, Tuhan berkata agar kita bekerja bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, tetapi untuk makanan yang tak dapat binasa, yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal. Lalu murid-murid bertanya, “apakah yang harus kami perbuat untuk memperoleh makanan yang tidak dapat binasa itu?” Tuhan Yesus berkata, “inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah.” Percaya itu bukan sekadar sesuatu yang dipikirkan dan diyakini, kemudian disetujui di dalam pikiran, melainkan sesuatu yang diusahakan, ergon; dikerjakan.
Maka di Filipi 2:12-13 firman Tuhan mengatakan, “Kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar.” Ayat sebelumnya, “hendaklah kamu dalam hidupmu menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Yang harus menaruh pikiran, perasaan Kristus itu siapa? Kita. Jangan berkata, “Tuhanlah yang menaruh. Tuhan yang menentukan kamu selamat lalu memberi kamu iman, menaruh iman jadi percaya, lalu diberi pikiran, perasaan Kristus, lalu bisa selamat.” Ini membuat kekristenan mati. Karena respons manusia tidak dibutuhkan atau tidak bisa mengemuka secara proporsional. Keselamatan tidak cukup diterima dengan aktivitas nalar. Perhatikan doktrin-doktrin yang bernuansa demikian, mereka akan berputar-putar dalam penjelasan, definisi, rumusan, tetapi tidak jelas implikasinya.
Orang-orang yang menekankan benda, atau uang, pasti menekankan perkara-perkara duniawi. Karena percaya yang dimiliki semua dinalarkan, sehingga tidak melibatkan seluruh hidup. Jadi, orang bisa dikatakan percaya kepada Yesus, kalau melibatkan seluruh hidupnya. Semua kita sebenarnya dalam perlombaan. Bagaimana kita meningkatkan iman makin sempurna, dan memandang Yesus yang membawa iman kita kepada kesempurnaan, artinya yang akan mengajari kita bagaimana taat kepada Bapa seperti Dia taat. Percaya itu tindakan. Percaya itu menyerahkan diri kepada objek yang dipercaya. Dan untuk proses perlombaan ini berlangsung dengan baik, dosa dan beban harus ditanggalkan (Ibr. 12:1). Kita semua harus berlomba, namun bukan untuk saling bersaing, lalu saling menyikut dan menjatuhkan. Suatu hari Tuhan akan membuka hasil perjuangan kita. Jadi, kita hanya menunggu pengadilan Tuhan.
Iman itu diperjuangkan, tapi iman datang dari pendengaran; rhema (Rm. 10:17). Semua kita mendengar khotbah, membaca Alkitab, membaca buku, namun itu belum tentu rhema. Rhema adalah suara yang Roh Kudus sampaikan kepada kita. Roh Kudus akan menuntun orang percaya kepada seluruh kebenaran, maka pasti Roh Kudus berkarya. Tidak mungkin Dia diam. Manusia hidup bukan hanya dari roti, melainkan juga dari setiap rhema. Tentu itu artinya kita harus baca Alkitab, mendengar khotbah, membaca buku-buku rohani yang baik. Tetapi semua itu hanya seperti bahan mentah. Untuk bisa menjadi bahan matang, Roh Kudus harus berbicara secara pribadi. Ini akan sesuai dengan konteks pergumulan hidup yang kita alami dan kebutuhan kita. Maka, Allah bekerja dalam segala hal. Dan Allah membutuhkan peristiwa, kejadian untuk mengubah kita.
Jadi, kita harus mendengar suara Tuhan setiap hari melalui apa pun. Dan peristiwa-peristiwa hidup itu sangat signifikan mengubah kita. Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan. Kalau dalam bahasa kita ada kata “Allah turut.” Kata “turut” itu tidak ada dalam teks aslinya. Allah yang mendesain, dan mengizinkan kejadian. Supaya lewat kejadian itu, Dia bisa berbicara, maka kita mendengar khotbah. Jika kita tidak menghormati Firman dan sibuk berpikir yang macam-macam, maka kita tidak bisa mendengar rhema. Lalu setelah kita pulang dari kebaktian, maka tidak ada perubahan. Tapi kalau kita menghargai Firman, kita bisa mendengar Roh Kudus berbicara. Maka saat pulang ke rumah atau sedang di kendaraan, kita bisa mendengar-Nya. Lewat peristiwa, kita bisa mendengar. Itulah yang akan membangun iman.
Seseorang bisa dikatakan percaya kepada Yesus, kalau ia melibatkan seluruh hidupnya.