Skip to content

Melekat pada Tuhan

Sudah terlalu lama orang-orang Kristen diikat dengan berbagai kesenangan dan berbagai kemelesetan. Kemelesetan itu dosa; (Yun.) hamartia. Memang kita mungkin tidak terikat dengan dosa-dosa moral, tetapi meleset; tindakannya tidak tepat seperti yang Allah kehendaki, tidak sesuai dengan pikiran, perasaan Allah. Dalam hal ini, musuh yang paling berat adalah kewajaran hidup. Bicara sembarangan, memarahi orang sembarangan, membeli barang ini, barang itu, pergi ke sana atau ke situ, kita merasa berhak melakukannya. Padahal, mestinya kita tidak berhak lagi atas diri kita. Tetapi, luar biasanya dan sekaligus mengerikannya, Tuhan tidak memaksa kita melakukan apa yang tepat seperti yang Ia kehendaki. Ia tidak memaksa, walaupun Ia menghendaki demikian. Ini yang harus menjadi kegentaran kita. 

Jadi, kita sudah harus mulai hari ini melepaskan segala sesuatu, kalau kita mau menjadi murid-Nya. Artinya, kalau kita mau menjadi serupa dengan Yesus; kalau mau menjadi utusan Tuhan, kalau mau dimuliakan bersama Yesus, diperkenan masuk ke dalam Rumah Bapa. Jangan merasa berhak memiliki sesuatu, termasuk kesenangan. Mari menjadikan Tuhan satu-satunya kesenangan dan kebahagiaan kita. Kalau kita menjadikan Tuhan satu-satunya kesenangan dan kebahagiaan kita, maka kita berusaha melakukan apa yang Allah kehendaki untuk kita lakukan dalam segala hal dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Pekerjaan Allah yang dipercayakan kepada masing-masing kita tentu memiliki tugas yang berbeda. 

Kristen yang sejati itu mestinya berbeda sekali dengan anak dunia. Karena kita tidak berbeda secara benar, tidak tajam perbedaannya, makanya anak-anak kita ikut terbawa; kompromi, konformistis. Setan itu licik dan harus dikatakan “luar biasa,” walaupun Tuhan tentu lebih luar biasa. Setan akan mengemas doktrin, pengajaran, wawasan-wawasan melalui teolog-teolog dan penulis-penulis Kristen, yang semua itu mengurangi dosis kekristenan yang seharusnya kita kenakan. Selalu saja orang punya alasan: “Jangan berlebihan, jangan keterlaluan, tidak usah ekstrem-ekstrem. Jangan terlalu fanatik, sebab kita hidup di tengah-tengah masyarakat.” “Cerdik seperti ular tulus seperti merpati” diartikan salah. Cerdik seperti ular, tetapi kompromi. Tulusnya bukan tulus seperti Tuhan Yesus; tulus lain, tulus di dalam nalar, bukan dari impartasi spirit Roh Kudus, spirit Allah. 

Ayo, kita memperkarakan hal ini, sebelum kita menghadap takhta pengadilan Kristus. Kita akan sangat menyesal kalau suatu hari bertemu Tuhan, tetapi kita tidak melepaskan segala sesuatu. Kesenangan-kesenangan dunia harus kita lepaskan. Tinggalkan hobi-hobi yang tidak perlu, jika tidak mendatangkan keuntungan untuk pekerjaan Tuhan. Hobi yang menguntungkan, yang mendatangkan uang sehingga uangnya bisa kita gunakan untuk menolong sesama, menghidupi keluarga, membalas kebaikan orang tua, bagus. Tetapi, kalau hanya untuk senang-senang saja, harus kita tinggalkan karena dunia akan segera berakhir.

Jadi, standarnya itu Tuhan Yesus. Tetapi, Paulus pun juga istimewa seperti Gurunya atau Tuhannya. Pernyataan-pernyataan Paulus jangan hanya diucapkan, seperti di Filipi 1:21, “Karena bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.” Sampai pada tingkat di mana kematian menguntungkan. Ini bukan omong kosong, tetapi harus benar-benar kita alami, kita hayati. Dengan cara ini, kita menyelamatkan manusia. Orang-orang yang sudah lama hidup dalam ownership; dalam pemilikan terhadap dirinya sendiri, betapa sulitnya melepaskan segala sesuatu dan mengarahkan diri kepada Tuhan. Tuhan bisa membaca, apakah kita masih melekat dengan apa yang ada pada kita, atau hanya melekat kepada Tuhan. 

Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” jangan hanya menjadi slogan saja. Sampai level ini, kita baru bisa menghayati dunia bukan rumah kita. Kehidupan Rasul Paulus itu berstandar Yesus. Maka, dia berani berkata, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging adalah hidup dalam penurutan dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Kalau Yesus dulu waktu hidup di dunia, prinsip-Nya, “Makanan-Ku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Sekarang ketika Yesus naik ke surga, dan kita meneruskan estafet tugas yang Bapa berikan kepada Yesus, maka kita juga harus punya prinsip yang sama, “Makananku melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Kehendak Bapa, bukan kehendak Bapa sebagian; kehendak Bapa 100%. 

Ingat, kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Setiap kita pasti memuat, memikul tanggung jawab beban pekerjaan Tuhan yang khusus, yang khas, yang masing-masing kita harus tunaikan. Melakukan kehendak Tuhan dalam segala hal, luar biasa sulitnya. Pernak-pernik hidup yang kita jalani hari ke hari, sering kali membuat kita meleset. Tetapi, kita mau untuk belajar tidak meleset. Setelah ini, baru kita memiliki kepekaan. Kita tahu apa tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita untuk kita tunaikan.

Tuhan bisa membaca, apakah kita masih melekat dengan apa yang ada pada kita, atau hanya melekat kepada Tuhan.