Skip to content

Media Pembuktian

Bagaimana seseorang bisa membuktikan kesuciannya kepada Tuhan; bagaimana seseorang bisa membuktikan kesetiaannya kepada Tuhan? Melalui persoalan hidup. Jadi kalau seseorang mau mencari perkenanan Tuhan lalu pergi ke tengah hutan, semedi atau bertapa, sejatinya dia tidak menggunakan media yang ada untuk betul-betul menjadi anak kesukaan Allah, menjadi seorang yang berkenan kepada Allah, seorang yang terbukti mencintai Tuhan dan menghormati Dia. Sebab, medianya adalah masalah. 

Kita diberi oleh Tuhan persoalan-persoalan berat, kesempatan-kesempatan berbuat dosa, kesempatan-kesempatan untuk membalas dendam, yang ternyata semua itu adalah media untuk kita membuktikan kesetiaan kita, cinta kita kepada Tuhan, dan kesucian hidup kita. Jadi kalau kita harus menghadapi masalah-masalah hari ini, puji Tuhan. Karena masalah itu sebenarnya menjadi media kita untuk membuktikan bahwa kita ini mengasihi Dia. Jadi, kita bersyukur kalau Tuhan membawa kita kepada situasi-situasi yang kadang-kadang membuat kita merasa berat hidup. Tapi di situlah Tuhan mau kita menggunakan media tersebut untuk membuktikan kita mengasihi Dia.

Bagaimana kesetiaan bisa teruji kalau tidak ada godaan? Maka, harus ada godaan dulu. Ketika kita diperhadapkan kepada banyak pilihan, kita bisa berkata, “aku memilih-Mu, Tuhan.” Bagaimana kita bisa membuktikan kalau kita itu mencintai Tuhan? Ketika banyak opsi yang bisa dipilih. Di situ kita menjadi manusia surgawi yang benar. Ketika kita menghadapi berbagai pergumulan dan persoalan, itu adalah media. Media dimana kita menunjukkan, membuktikan, sekaligus berlatih untuk meningkat ke level yang lebih tinggi. Menunjukkan cinta kasih kita kepada Tuhan; hormat, pengabdian, dan kesucian kita di hadapan Tuhan. Jadi kalau kita mau suci dengan cara tidak pernah keluar kamar, itu tidak tepat. Kita harus hidup di tengah-tengah masyarakat dengan segala persoalannya. Karena, justru persoalan-persoalan itu menjadi media kita untuk membuktikan cinta kita kepada Tuhan.

Di sini kita harus memilih. Kita tidak bisa berkata, “ya, mengalir saja.” Memilih Tuhan atau tidak; memilih Kerajaan Surga atau dunia ini. Kalau kita memperhatikan kehidupan yang berjalan, dalam hati kita bertanya, “Sampai kapan semua ini berlangsung?” Semua pasti akan berakhir. Lalu coba kita berpikir, berapa banyak orang yang menyadari bahwa rumah mereka itu hanya dihuni sesaat? Berapa banyak mereka yang menyadari bahwa suatu hari semua ini akan berakhir. Dan kalau berakhir, apakah mereka siap menghadap takhta pengadilan Tuhan? Makanya, kalau di antara mereka ada anak kita, pasangan kita, saudara kita, kerabat kita, kita harus merebut mereka dari dunia ini. Dengan kebenaran firman, dengan lawatan Tuhan dalam doa bersama, dan dengan keteladanan, kita rebut mereka untuk Kerajaan Surga. Maka, jangan hidup dengan kebiasaan hidup seperti manusia pada umumnya. Dunia ini pasti berakhir, dan kita pasti menghadap takhta pengadilan Allah. Sudahkah kita memilih Tuhan? Sudahkah kita meninggalkan gemerlap dunia? Kalau belum, ini sangat berbahaya. Dunia bisa setiap saat berubah. Belum lagi kalau kita dengar kemungkinan-kemungkinan terjadinya bencana alam; tsunami, gempabum, dan sebagainya. 

Masing-masing kita harus bertanya, “Apa yang harus saya lakukan di sisa umur hidup saya ini, sebelum saya meninggal dunia dan menghadap Allah?” Jangan sampai ada yang belum kita kerjakan. Dengan demikian, kita mempersiapkan diri sungguh-sungguh untuk Kerajaan Surga; untuk kekekalan. Maka, jangan tenggelam dengan banyak masalah. Walau kita punya banyak masalah, tapi jangan sampai kita gagal fokus untuk kekekalan. Kita harus takut akan Allah. Kalau orang tidak takut akan Allah, itu karena dia tidak pernah berurusan dengan Allah. Kalau kita berurusan dengan Allah, kita pasti memiliki perasaan takut akan Allah; takut karena mengasihi Dia, takut dengan hormat kepada Allah. Allah yang punya kuasa, kerajaan, dan kemuliaan. Tetapi kalau seseorang tidak memeriksa diri dengan saksama, hari kematiannya menjadi mengerikan. Maka, tidak heran ada banyak orang yang takut mati. Mengapa takut mati? Karena tidak memiliki kepastian. Ia tidak berkemas-kemas dan tidak mempersiapkan diri.

Hari kematian kita harus indah, karena itu wisata abadi kita. Di pembaringan terakhir nanti, Sahabat Sejati pasti menjemput kita. Siapa yang dijemput? Mereka yang mengikuti jejak Tuhan Yesus. Bagi kita berusaha hidup kudus, sempurna seperti Bapa, serupa dengan Yesus, mengenakan kodrat ilahi, yang menjemput kita kelak adalah Tuhan Yesus. Maka, jangan teralihkan dengan berbagai hal. Sementara kita menghadapi banyak masalah, kita selesaikan dengan tanggung jawab dan berfokus hanya ke Kerajaan Surga. Sebab, dunia ini hanya sementara.

Kita diberi oleh Tuhan persoalan-persoalan berat, kesempatan-kesempatan berbuat dosa, kesempatan-kesempatan untuk membalas dendam, yang ternyata semua itu adalah media untuk kita membuktikan kesetiaan kita, cinta kita kepada Tuhan, dan kesucian hidup kita.