Hidup hari ini di dunia yang semakin rusak sangat susah, namun jangan nanti kita mati masuk neraka atau dibuang oleh Tuhan. Kita harus memberi diri dipersiapkan oleh Allah, diubah untuk menjadi seseorang yang pasti akan mendapat bagian dalam dunia yang akan datang menjadi anggota keluarga Kerajaan Allah. Kalau kita bangun pagi dan berdoa, biasanya gairah kita untuk menjadi lebih baik dari kemarin kuat sekali. Tapi gairah itu sering tidak berkobar secara konstan dan permanen. Siangnya, oleh karena satu dan lain hal, bisa kendor juga. Lalu Iblis dengan kelicikannya membuat kita bisa meleset. Makanya pada malam hari kita menyesali ketidaktepatan yang kita lakukan hari itu. Kita memang tidak berzina, tidak mencuri, tidak membunuh, tetapi ada kemelesetan-kemelesetan yang itu menunjukkan tidak mulianya kita. Dan itu karena kelicikan kita; kita meliciki diri sendiri, meliciki orang lain, kita mau menjatuhkan orang dengan kata-kata.
Untuk ini, seseorang harus memilih, apakah mau menjadi manusia hari ini atau menjadi manusia hari esok; manusia masa depan yang harus berkeadaan mulia. Dalam arti setiap keputusan yang kita buat adalah tepat; bukan sesuatu yang tersembunyi atau bukan sesuatu yang bersifat abu-abu, apalagi gelap. Ini bukan satu hal yang sederhana. Jangan dibodohi oleh pemikiran, “jangan-jangan nanti kita bisa berkenan walaupun sekarang kita berantakan,” karena tidak mungkin. Demikian pula dengan kesucian hidup, kesempurnaan. Kita harus meraih kemuliaan itu sejak sekarang, dan hal itu kita tahu. Kekudusan Allah adalah kesempurnaan kebenaran dalam seluruh hakikat-Nya yang tidak terbatas. Di dalam kekudusan Allah, Ia tidak menolerir pelanggaran sekecil apa pun. Allah berkata “kuduslah kamu sebab Aku kudus.” Standar kekudusan kita adalah standar Allah.
Ada kesenjangan antara apa yang kita lakukan dengan apa yang kita ucapkan. Ini bisa terjadi atas semua kita. Dari 100 kata yang kita ucapkan, dulu melesetnya 90 atau 80 kata. Seiring dengan perjalanan umur, dari 100 kata maka yang meleset tinggal 35 kata saja. Namun lama-lama tidak meleset satu kata pun; tepat. Dan itu kita tahu, bukan tidak tahu. Kita harus sadar bahwa masih meleset, munafik. Tapi lambat laun kita tidak meleset atau munafik lagi. Selanjutnya kita akan berkeinginan yang kuat untuk cepat-cepat berdiri di hadapan takhta pengadilan Kristus, di mana kehidupan kita masing-masing akan dibuka. Jadi sebelum dibuka di sana, kita harus memeriksa diri kita sendiri dulu hari ini. Jadi, ketika kita mendengar kata “suci” atau “kudus seperti Bapa,” “hidup tak bercacat, tak bercela,” kita tidak lagi memandang sebagai hal yang terlalu berat atau kita jadi resisten. Sebaliknya, kita makin menerima, karena ini adalah sebuah keniscayaan. Bukan hal yang tidak mungkin kita kenakan.
Akhirnya, kita merindukan menjadi seseorang yang berharga di mata Allah. Tanah liat itu berharga di tangan penjunan. Tapi kalau tanah liat sudah tidak bisa dibentuk, akhirnya dibuang. Kita mau jadi tanah liat yang dibentuk, lalu jadi bejana. Bejana yang indah, yang kemudian nanti akan ditaruh di Rumah Bapa menjadi hiasan. Coba renungkan, siapa sih kita yang karena kemurahan dan kasih-Nya menjadikan kita anak-anak Allah Yang Mahaagung, Mahamulia, Allah semesta alam yang menciptakan langit dan bumi. Luar biasa, bukan? Ini adalah kesempatan yang berharga. Maka selagi kita hidup, kita harus meraih kemuliaan itu. Dan kita harus tahu bahwa kita sudah meraihnya atau belum. Kita masih bercacat atau sudah tidak bercacat. Kita harus sadar itu. Maka, pergumulan seberat apa pun, jangan sampai mengganggu pergumulan kita untuk meraih kemuliaan.
Di tengah-tengah masyarakat, sering kali kita menghadapi bullying dari orang-orang yang tidak ramah terhadap Injil, yang mencela Tuhan Yesus, lalu juga mencela kita. Sebagai anak-anak Allah yang sedang belajar sempurna, jangan tanggapi dengan negatif. Tidak apa-apa, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat. Di tengah-tengah bangsa kita yang pluralistis ini, yang beragam ini, kita harus ikut menjaga ketenangan masyarakat. Sekalipun di antara keluarga besar kita yang menghina dan merendahkan, maka kita tidak perlu marah. Sebaliknya, kita menanti pengadilan Tuhan. Itu yang justru membuat kita lebih menjaga diri agar jangan sampai kita benar-benar sesat seperti yang orang katakan. Itu justru menjadi peringatan yang baik untuk kita. Jadi, tidak ada agenda hidup lain selain bagaimana kita menjadi anak Bapa yang berkenan. Perkenanan Bapa itu bukan kita tahu nanti setelah mati, melainkan sejak kita hidup di bumi, kita sudah tahu kita ini berkenan atau tidak. Kita juga bisa merasakan sentuhan kasih Allah dan reaksi perasaan Bapa terhadap sikap dan perbuatan kita setiap hari.
Seseorang harus memilih, apakah mau menjadi manusia hari ini atau menjadi manusia hari esok; manusia masa depan yang harus berkeadaan mulia