Skip to content

Lupa Mempersiapkan Diri

Kita sering mendengar orang berkata dan kita juga mungkin yang berkata dan merasakan bahwa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin hari Minggu, sekarang sudah Minggu lagi. Rasanya baru kemarin bulan baru, sekarang sudah menginjak bulan baru lagi, dan seterusnya. Sejatinya, perjalanan waktu itu konstan, artinya waktu tidak berjalan lebih cepat atau lebih lambat. Waktu berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya, seperti abad-abad sebelumnya. Satu menit masih 60 detik, satu jam masih 60 menit, satu hari masih 24 jam. Jadi, yang membuat kita merasa seakan-akan waktu ini cepat berlalu, karena kesibukan manusia yang bertambah banyak, tugas-tugas yang bertambah padat, dan orang di sekitar kita terus gopoh-gopoh dalam segala kegiatan hidup, sehingga kita sendiri ikut terbawa; ikut tergopoh-gopoh. Bagi kita yang sudah usia di atas 60 tahun, ketika mulai melihat cucu, rasanya, baru kemarin anak-anak masih sekolah, kita hantar sekolah. Sekarang mereka sudah dewasa, sudah punya pasangan hidup, dan sudah memiliki keturunan. Kita hanyut dalam perjalanan waktu.

Ada bahaya yang tidak kita sadari. Di derap perjalanan waktu ini, kita tidak mempersiapkan diri menyongsong kehidupan kekal; kehidupan di balik kematian. Ini bukan hanya untuk mereka yang usia lanjut, tetapi juga untuk semua orang. Yang pasti, suatu hari nanti jantung kita akan berhenti berdetak dan nadi kita akan berhenti berdenyut. Masalahnya adalah dengan padatnya tugas, banyaknya kesibukan, orang bisa lupa mempersiapkan diri menghadapi kematiannya. Kita yang tidak memiliki tugas, ikut terbawa oleh suasana seperti itu. Padahal, kita tidak tahu saat akhir kehidupan kita. Firman Tuhan dalam 1 Petrus 1:3 mengatakan, “Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita, Yesus Kristus, yang karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati kepada suatu hidup yang penuh pengharapan.” Kita bersyukur karena kita adalah anak-anak Allah yang boleh memiliki hidup yang penuh pengharapan. Tetapi pengharapan yang dimaksud di sini bukanlah pengharapan sebelum kuburan, tetapi setelah kubur. Setelah jantung kita berhenti berdetak, setelah nadi kita berhenti berdenyut, di sanalah pengharapan itu menantikan kita, dan kita menantikan memperoleh apa yang kita harapkan. “Untuk menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang tidak dapat cemar, dan tidak dapat layu, yang tersimpan di surga bagi kamu.” Ayat seperti ini bukanlah ayat yang asing kita dengar. Tetapi tidak pernah dipersoalkan, siapa yang berhak memiliki pengharapan itu. Ibarat seorang siswa atau mahasiswa yang tidak sungguh-sungguh belajar, dia tidak layak memiliki pengharapan untuk diwisuda. Beda dengan mahasiswa yang memenuhi tugas belajarnya dengan baik, ia berhak memiliki pengharapan lulus dan diwisuda. Kita tidak akan pernah berhak memiliki rumah tangga yang bahagia kalau kita tidak menjaga mulut, tidak sabar terhadap pasangan hidup, apalagi tidak setia.

Demikian pula kita dengan pengharapan kehidupan di balik kubur. Ironis, banyak orang berani berkata, “Saya percaya nanti saya masuk surga.” Apa alasan kamu berpengharapan masuk surga? Biasanya dijawab dengan kata “percaya.” Percaya yang bagaimana? Sejujurnya, mereka tidak mengerti. Percaya itu bukan hanya kegiatan, aktivitas pikiran kita. Percaya itu tindakan. Kalau kita percaya, kita taat kepada Bapa di surga. Kalau kita percaya, kita mengikuti jejak hidup Tuhan Yesus. Perhatikan ayat berikutnya, “Yaitu kamu yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu, sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir. Bergembiralah akan hal itu sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai pencobaan.” (1Ptr. 1:5) Jadi, yang memiliki pengharapan itu adalah orang-orang yang mengalami berbagai pencobaan karena kesetiaan ikut Yesus. Jangan lupa, bahwa pada zaman itu orang Kristen teraniaya hebat. Termasuk Petrus sendiri, yang akhirnya mati disalib dengan kepala di bawah, menurut tradisi gereja.

Lebih lanjut Petrus (1:7) menuliskan, “Maksud semuanya itu, ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu yang jauh lebih tinggi nilainya daripada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api, sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi Dia. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita mulia, dan yang tidak terkatakan,” di tengah-tengah aniaya, di tengah-tengah pencobaan. Karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.” Orang-orang yang telah mencapai tujuan imannya—yaitu keselamatan jiwanya—inilah yang berhak memiliki pengharapan langit baru bumi baru, karena mereka memiliki kematian yang bermartabat. Jadi, tidak semua berhak menerima pengharapan itu. Hanya mereka yang telah mencapai tujuan iman, yaitu keselamatan jiwa. Keselamatan jiwa maksudnya adalah orang yang diproses memiliki kesucian seperti kesucian Allah, dan tidak terikat pada keindahan dunia.

Yang menjadi masalah adalah dengan padatnya tugas, banyaknya kesibukan, orang bisa lupa mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.