Kita harus mengukur nilai pencapaian kemuliaan kita. Sehingga kalau kita memeriksa diri kita dengan saksama, kita akan bisa mengerti. Karena bagi orang yang mengasihi Tuhan, ia pasti diproses Tuhan. Di setiap masa dan periode ada pergumulan yang dialami untuk membentuk manusia batiniahnya. Pasti dia memiliki pergumulan sesuai dengan levelnya. Kalau level yang masih ringan, biasanya seseorang menghadapi orang yang membuang muka. Level yang lebih tinggi, dia akan menghadapi orang yang membuang ludah. Tapi level yang lebih tinggi, dia diludahi. Pasti masing-masing kita akan memiliki level. Di sini kita harus bisa menyelesaikannya, agar kita memiliki karakter Ilahi yang permanen. Jadi, ketika kita berkata, “Aku minta kepada-Mu, ya Bapa, hati mengasihi-Mu seperti Yesus,” kita akan dikejar untuk digarap. Lalu kalau kemudian kita bertanya, “Bapa, mengapa aku mengalami ini?” Maka Bapa di surga akan menjawab, “Kamu yang minta, anak-Ku.”
Kita pasti mengalami proses jatuh bangun, sampai akhirnya dalam titik tertentu kita bernazar, kita berjanji kepada Tuhan untuk hidup suci. Kalau pada kenyataannya nanti kita masih berbuat salah, kita minta ampun, tapi jelas kita tidak memiliki niat sama sekali untuk berbuat salah. Tuhan pasti melihat dan menilai orang yang sungguh mengasihi-Nya. Namun jangan kita kaget jika ada orang yang menilai kita sombong. Dalam hal ini kita tidak usah berdebat, mereka tidak akan mengerti, karena mereka belum selesai. Hidupnya belum selesai; belum selesai dengan dirinya sendiri. Untuk itu, mari kita periksa hidup kita—pergaulan hidup, hubungan dengan orang di sekitar kita—ternyata kita masih banyak cacatnya; apakah itu kesombongan terselubung, ketidaktulusan dan sikap-sikap lain yang kita pandang remeh. Tapi kalau kita belajar untuk benar-benar hidup suci, kita akan melihat kesalahan-kesalahan “remeh” itu. Ketika ada rangsang berbuat dosa, kita ingat bahwa kita sudah berjanji tidak berbuat dosa, maka kita akan menjadi lebih kuat. Kita tidak perlu peduli apa kata orang tentang kita. Kita akan lebih merindukan ada di hadapan takhta pengadilan Kristus, di mana semua keadaan kita akan dibuka, dan akan jelas nyata siapa kita masing-masing.
Jadi Tuhan Yesus datang untuk menyelamatkan umat manusia dari dosa manusia, artinya manusia harus diubah sesuai rancangan Allah semula, dimana Allah menciptakan manusia untuk segambar dan serupa dengan Allah. Namun pada umumnya, orang berpikir dengan kematian Yesus di kayu salib, persoalan dosa sudah selesai. Tuhan Yesus memang berkata, “sudah selesai,” tapi “sudah selesai” untuk tugas yang harus ditunaikan oleh Tuhan Yesus. Dia menyediakan pengampunan dosa, pembenaran. Tetapi proses perubahan yang harus terjadi di dalam kehidupan setiap individu, itu belum selesai. Maka setelah Tuhan Yesus bangkit dari kubur, Tuhan Yesus berkata, “Jadikan semua bangsa murid-Ku.” Yang sama dengan: “Jadikan semua orang untuk dikembalikan ke rancangan semula. Yaitu mereka yang menjadi umat pilihan untuk menemukan kemuliaan Allah yang hilang.” Jadi, surga yang mulia hanya akan dimasuki oleh orang-orang yang sudah mulia; orang yang akan dimuliakan bersama dengan Tuhan Yesus (Rm. 8:17). Tuhan Yesus akan dimuliakan, karena Tuhan Yesus mulia.
Ibrani 5:7-9, “walaupun Dia Anak, Dia belajar taat dari apa yang diderita-Nya.” Setelah mencapai kesalehan-Nya—kesalehan yang sempurna—Ia dibangkitkan dari antara orang mati, karena Dia saleh. Kata “saleh” itu sama dengan “suci.” Itu berarti setelah Dia bisa mencapai kemuliaan, menjadi manusia yang meraih kemuliaan, Ia dibangkitkan. Kalau Yesus tidak taat sampai mati, tidak bisa dibangkitkan. Tidak mulia, tidak mungkin dibangkitkan. “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut. Dan karena kesalehan-Nya, Ia didengar.” Bukan mentang-mentang Dia Anak Allah, lalu Allah membangkitkan Dia. Itu di luar tatanan Allah. Tuhan Yesus harus melalui setiap penderitaan-Nya. Kalau Tuhan Yesus tidak meraih kemuliaan, dan dibangkitkan, betapa rusaknya surga. Dia taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib, maka Ia berkata, “Sudah selesai,” Dia menang. Maka di setiap surat kepada tujuh jemaat di Kitab Wahyu, selalu ada kalimat, “kamu harus menang, seperti Aku menang.”
Menjadi pertanyaan bagi kita semua, “Apakah kita sudah menang?” Kemenangan kita ditentukan dengan apakah kita telah meraih kemuliaan Allah yang hilang atau kurang dalam diri kita. Setiap individu mesti menggumuli dirinya sendiri. Dia tidak bisa menggumuli orang lain. Masing-masing kita punya pergumulan yang berbeda, tapi proses mekanismenya pasti sama karena standarnya adalah Alkitab. Yang membedakan kita adalah yang satu sudah mengalami, yang lain belum. Hidup kita menjadi menarik sekali. Harta dunia menjadi tidak berarti. Kedudukan, kehormatan menjadi tidak berarti. Persoalan-persoalan hidup yang kita hadapi, ternyata itu berkat abadi yang Tuhan berikan kepada kita. Makin hari, kita menjadi cemerlang. Allah akan senyum melihat yang satu ini. Mari kita berkemas-kemas dengan menemukan kemuliaan yang hilang ini.
Di setiap masa ada pergumulan yang dialami untuk membentuk manusia batiniah, dan ada level pergumulan yang berbeda untuk setiap orang.