Kalau kita benar-benar percaya ada Entitas yang Maha Kuasa, Maha Besar, yang menciptakan langit dan bumi yang Alkitab mencatat jejak dan langkah-Nya, yaitu Elohim Yahweh, Allah semesta alam, maka, kita juga mengakui bahwa orang paling kaya, paling beruntung, paling aman adalah orang yang memiliki dan mengalami Tuhan. Mari kita periksa, berapa banyak orang yang sungguh-sungguh mempertaruhkan apa pun yang ada padanya untuk memiliki dan mengalami Tuhan? Umumnya, orang menjadikan Tuhan itu sekadar tambahan. Memang tidak dibuang dan orang tidak berkata bahwa mereka tidak memerlukan Tuhan. Memerlukan juga, tetapi tidak menjadikan Tuhan segalanya dalam hidup.
Fakta yang kita lihat, tidak banyak orang yang menghayati pentingnya Allah dalam hidup ini; penting secara proporsional. Orang bisa mengatakan bahwa Tuhan itu diperlukan atau Tuhan itu penting, tetapi kepentingannya tidak proporsional. Memang untuk menjadikan Tuhan segalanya itu tidak mudah. Selain karena pengaruh dunia sekitar yang telah mencemari kita, kita juga terpapar oleh pola hidup dan gaya hidup manusia di sekitar kita.
Sebagai manusia berdosa, jiwa kita sudah tidak memiliki kehausan yang benar terhadap Allah. Oleh karenanya, kita jangan terpapar terus oleh pengaruh dunia, walaupun kita sudah terinfeksi. Kita harus sungguh-sungguh berjuang untuk bisa memiliki kehausan akan Allah, sehingga kita bisa berkata seperti di Mazmur 73:25-26, “Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Mari kita berpikir realistis, yang di mata dunia, tidak realistis. Sebab bicara mengenai Allah, selalu diasumsikan sebagai supranatural, great mystic. Bicara mengenai Allah selalu dipandang sebagai sesuatu yang adikodrati; di luar kodrat.
Memang benar, ada hal-hal yang supranatural di dalam diri Allah, yang tidak bisa dipahami dengan pikiran umum. Kita percaya dan menerima adanya fakta di luar kodrat atau adikodrati di dalam diri Allah. Tetapi Allah menyatakan Diri dalam kehidupan manusia, pasti Allah masuk ke dalam wilayah-wilayah kodrati, yang natural, yang bisa kita tangkap dengan indra kita. Walaupun, kita percaya kepada Allah bukan karena kita mengalami terlebih dulu. Bukan karena kita tahu, maka kita percaya; melainkan kita percaya, walau kita tidak tahu sebelumnya. Walaupun panca indra kita tidak bersentuhan pada mulanya, tetapi kita percaya Dia adalah Entitas yang hidup, realitas yang hidup. Kita bisa mengalami Dia dengan seluruh panca indra.
Di dalam Injil Matius 5:6 dikatakan, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” “Kebenaran” di sini menunjuk Tuhan atau hal-hal rohani, yang bersangkut paut dengan kesucian. Sebagaimana Tuhan berkata, “I am the way, the truth, and the life; Akulah jalan, kebenaran dan hidup.” Lapar dan haus menunjukkan kebutuhan yang harus terpenuhi. Ini kebutuhan primer; pangan. Manusia bisa hidup tanpa hiburan, tanpa fasilitas lain apa pun, tetapi manusia tidak bisa tidak makan dan tidak minum. Kita harus sampai pada tingkat kebutuhan yang mendesak akan Allah.
Yang lain bisa dianggap tidak penting, bisa dikatakan sekunder, tetapi Tuhan itu selalu primer. Tuhan itu selalu menjadi kebutuhan yang penting, yang utama, dan mendesak. Ada kebutuhan yang penting, tetapi tidak mendesak. Ada kebutuhan yang mendesak, tetapi sebenarnya tidak penting. Tetapi, Tuhan selalu menjadi kebutuhan yang penting dan mendesak. Faktanya, tidak banyak orang sampai pada tingkat ini, walaupun orang Kristen, aktivis bahkan pendeta. Sampai ada istilah, “Mencari Tuhan itu seperti mencari jarum yang jatuh di jerami.” Tidak mudah. Ketika kita menganggap mencari Tuhan lebih mudah daripada mencari yang lain, berarti ada yang salah dalam hidup kita. Berarti kita belum mengenal Tuhan.
Tuhan bukan jual mahal. Tuhan memang murah hati, tetapi Tuhan bukanlah Tuhan yang murahan. Tuhan dapat ditemukan oleh orang-orang yang mencari Dia, sesuai firman Tuhan, “Aku membuat orang yang mencari Aku, menemukan Aku.” Tetapi tentu mencari dengan sungguh-sungguh. Itu masalahnya. Berapa persen intensitas kita dalam mencari Tuhan? Banyak masalah yang kita harus geluti atau hadapi, tetapi hendaknya itu tidak menjadikan sesuatu yang mencengkeram kita lebih dari kerinduan kita mencari Allah. Kalau hal-hal itu lebih mencengkeram kita, itu menjadi berhala. Sejatinya, berhala itu bukan hanya dewa-dewi, ilah agama tertentu. Masalah yang mencengkeram hidup bisa menjadi berhala.
Ada orang-orang yang seperti mengintimidasi Tuhan. Tidak mengucapkan, tetapi sikap hatinya berbunyi begini, “Kalau Engkau tidak tolong aku, Tuhan, aku tidak mau melayani Engkau. Kalau Engkau tidak tolong aku, Tuhan, aku tidak bersukacita. Kalau Engkau tidak tolong aku, Tuhan, aku tidak bisa bergirang memuji, menyembah Engkau, Tuhan.” Namun Tuhan dalam kesabaran-Nya sering menolong juga. Ini adalah orang-orang bodoh. Mencari Tuhan dengan alasan tertentu. Mestinya kalau kita mencari Tuhan, “Aku mencari Tuhan karena Tuhan sendiri. Hanya Tuhan yang kubutuhkan.” Ini rahasia kehidupan kristiani yang sejati.
Ketika kita menganggap mencari Tuhan lebih mudah
daripada mencari yang lain, berarti ada yang salah dalam hidup kita.