Skip to content

Lebih dari Segala Sesuatu

Segala keindahan dan kebaikan alam semesta ini tentu tidak akan dapat menandingi Allah yang menciptakannya. Tetapi kenyataannya, keindahan Tuhan hanya bisa dihayati oleh orang-orang yang benar-benar telah melepaskan dirinya dari kesenangan apa pun, dari percintaan dunia ini. Jadi, pengertian, pengetahuan, dan persetujuan kita belum pasti membuat kita benar-benar mengalami, menikmati, menghayati keindahan Tuhan itu. Sebab keindahan Tuhan hanya dapat dinikmati oleh mereka yang benar-benar menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan dan tujuan hidup. Dan sejatinya, ini tidak cukup direspons dengan kata “amin,” tetapi harus benar-benar kita alami. 

Walaupun dari muda kita berkata, “Kaulah segalanya dalam hidup ini,” tetapi faktanya kita tidak benar-benar menjadikan Yesus segalanya. Ironis, sangat sedikit orang yang memiliki prinsip dan langkah seperti ini, bahwa Tuhan itu satu-satunya kebahagiaan, satu-satunya tujuan hidup. Pada umumnya dan hampir semua orang telah terikat oleh percintaan dunia, terikat oleh kesenangan dunia dan berbagai hal yang menurut dirinya membuat ia bahagia dan lengkap. Ini yang harus kita waspadai: ketika kita memuaskan satu kesenangan, kita menumbuhkan satu monster; dua kesenangan, dua monster; tiga kesenangan, tiga monster. Dan rata-rata kita pasti punya beberapa kesenangan. 

Kalau bukan Tuhan yang menjadi kebahagiaan dan kesenangan kita, kita membuat atau membangun monster. Semakin kita memuaskan monster itu, semakin kuat dia. Jadi, jangan lagi berkata, “Sekali ini saja saya lakukan, nanti tidak lagi.” Sekali kita memberi umpan kepada monster itu, dia semakin kuat dan terus meningkatkan cengkeramannya di dalam hidup kita. Sampai kita tidak bisa lepas lagi. Ini mirip dengan orang-orang yang kecanduan. Seseorang bukan hanya kecanduan alkohol atau narkoba saja, melainkan kesenangan juga bisa menjadi ikatan. Keinginan dipuji, keinginan dianggap penting, dianggap terhormat, belum lagi kekayaan, kesenangan, keinginan daging, kuliner, dan seks. Itu semua bisa menjadi belenggu jika tidak ditempatkan secara proporsional. Misalkan ‘kuliner’, bukan berarti tidak boleh makan, tetapi ada etikanya. Seks bukan tidak boleh, tetapi ada etikanya. 

Mari kita secara jujur mengakui bahwa kita belum menghayati keindahan Tuhan secara benar, dan belum menikmati-Nya. Karena kesenangan-kesenangan hidup telah menggeser selera kita dalam menikmati Tuhan. Itulah sebabnya Yesus berkata dalam Matuius 16:26 maupun Markus 8:36, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi kehilangan nyawanya, dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Ayat yang senada bunyinya di Lukas 9:25 “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?” Ayat-ayat ini secara tidak langsung mengemukakan bahwa lebih dari segala sesuatu yang dapat kita peroleh dan dapat kita miliki di dunia ini, tidak terpisah dari Allah adalah satu-satunya yang dibutuhkan oleh manusia. Itulah keindahan, itulah kebahagiaan sejati.

Lebih dari segala sesuatu yang dapat kita peroleh dan miliki di dunia ini, tetap ada dalam persekutuan yang intim dengan Allah adalah satu-satunya yang kita butuhkan. Jangan sampai kita terpisah dari Allah. Ini bukan hanya menyangkut berkat jasmani, bahkan berkat jasmani bagi umat Perjanjian Baru sudah tidak mendapat tempat lagi. Di atas segalanya yang penting adalah kita memiliki Tuhan; memiliki keintiman dengan Tuhan. Tetapi kita tidak bisa memiliki Tuhan kalau tidak dimiliki Dia sepenuhnya. Namun, banyak orang mau memiliki Tuhan—terutama berkat-Nya—tetapi tidak bersedia dimiliki oleh Dia. Itu adalah sikap semena-mena terhadap Tuhan. Kita akan memiliki Tuhan, memiliki berkat-Nya, memiliki tenaga-Nya, mengalami perlindungan, penjagaan-Nya, jika kita mau dimiliki Dia sepenuhnya.

Maka jangan heran kalau kita tidak pernah memiliki Allah, hal itu karena kita tidak pernah dimiliki oleh Dia. Terhadap dewa, ilah, allah yang disembah, orang mau memanfaatkan, manipulatif, oportunis. Seakan memang Allah diadakan untuk dirinya. Itu salah! Bukan Dia ada untuk kita, melainkan kita ada untuk Dia. Jangan terbalik. Tidak memiliki Allah artinya kematian, kehilangan nyawa. “Kematian” di sini pasti maksudnya bukan hanya kematian jasmani, melainkan kematian kedua yaitu lautan atau danau api. Keterpisahan dengan Allah adalah kematian kekal. Dan kita harus memandang ini sebagai satu-satunya ancaman dalam hidup. Tidak ada yang boleh dianggap sebagai suatu ancaman dalam realitas hidup ini selain terpisah dari Allah. Kalau orang menganggap ada ancaman lain selain dari Allah, tidak mungkin dia sepenuh hati memberikan hidupnya kepada Tuhan. Tidak mungkin. Dia pasti masih menyisakan sesuatu untuk yang dia takuti.

Lebih dari segala sesuatu yang dapat kita peroleh dan miliki di dunia ini, tetap ada dalam persekutuan yang intim dengan Allah adalah satu-satunya yang kita butuhkan.