Kalau kita terus bertumbuh dewasa dalam hubungan dengan Tuhan, maka kita dapat memiliki langkah-langkah ofensif (langkah-langkah aktif), seperti langkah-langkah menyerang. Bukan dalam arti negatif, tapi dalam arti positif. Kalau kita biasanya selama bertahun-tahun berprinsip yang penting kita tidak berbuat salah, dan dengan cara itu cukup membuat kita benar di hadapan Allah dan berkenan, sebenarnya ini masih langkah defensif (langkah bertahan). Namun, kalau kita bertumbuh dewasa, kita harus memiliki langkah ofensif. Kita bukan saja tidak melakukan dosa atau melakukan pelanggaran—yang memang itu harus kita lakukan—melainkan juga memiliki langkah ofensif; yaitu kita mengejar, kita menyerang, kita yang bertanya kepada Tuhan, “Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus aku perbuat, Tuhan?” Kita mempertanyakan kepada Bapa di surga, “apa yang harus aku lakukan; apa yang harus aku perbuat.” Jadi, kita yang mempersoalkan atau mempertanyakan. Jelas kita sudah tidak boleh berbuat salah lagi. Jelas, itu tidak boleh, tetapi kita bukan hanya tidak berbuat salah, melainkan kita juga sungguh-sungguh mau mencari apa yang Tuhan kehendaki; apa yang Tuhan mau kita lakukan.
Langkah ofensif kita harus disertai dengan tekad kita untuk tidak melakukan kesalahan lagi yang mungkin bisa kita perbuat. Kita akan berani berkata, “Aku berjanji, Tuhan, untuk hidup suci. Aku berjanji, Tuhan, untuk tidak menyentuh apa pun yang bisa mendukakan hati-Mu.” Sejujurnya, kita sering takut mengucapkan janji-janji seperti itu, karena kita takut berbuat dosa, lalu kita akan dikutuk karena sudah janji. Jadi, lebih baik tidak janji, sehingga kalau berbuat salah, tidak apa-apa karena tidak janji, lalu minta ampun. Jadi, rasanya tidak terlalu besar kesalahan yang dilakukan, karena tidak ada janji. Kesalahan tetap kesalahan, nilai kesalahan tetap sama. Kalau kita berani berjanji, berkomitmen, bernazar, bertekad di hadapan Allah untuk hidup suci—memang bukan berarti kita lalu tidak pernah salah, bisa salah juga, bukan tidak mungkin—tetapi kita tidak pernah menolerir kesalahan itu. Kita tidak bermaksud melakukan kesalahan itu. Dengan ikrar, dengan janji itu kita menjaga hidup kita dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari untuk hidup lebih benar. Dan itu bisa memberikan kita kekuatan, potensi untuk lebih tidak melakukan suatu kesalahan.
Dengan tekad, janji, nazar itu, maka ketika ada kesempatan berbuat salah, kita diingatkan bahwa kita sudah berjanji tidak melakukan kesalahan. Ketika ada kemarahan, ketika ada dendam, ketika ada kebencian mau meluap, kita berkata, “aku sudah berjanji.” Dan ternyata, itu sangat efektif untuk membawa kita menjadi lebih berkenan di hadapan Tuhan. Itu adalah langkah ofensif kita. Kita berani bertekad, berani berjanji, berani bernazar. Lalu, kita berusaha untuk mencari apa yang dapat menyenangkan Tuhan. Jadi, setiap menit yang kita jalani menjadi menit yang berharga, karena di situ kita memperoleh kesempatan untuk menyenangkan hati Allah, menyukakan hati Allah. Bukan hanya bertahan tidak berdosa, tetapi tekad untuk tidak berbuat dosa sama sekali, dan kita mau melakukan apa pun yang Allah kehendaki. Inilah yang membuat kita benar-benar berkemas-kemas, ini yang membuat kita benar-benar mempersiapkan hari kematian kita. Dengan demikian, hidup kita akan terbelenggu, kita akan terikat oleh tekad, ikrar, janji, komitmen, nazar kita itu. Kita membawa diri kita kepada keadaan dimana kita terbelenggu oleh janji tekad kita tersebut. Dan komitmen untuk setiap menit, setiap jam, setiap hari kita menyenangkan hati Allah saja.
Inilah kehidupan yang Allah kehendaki. Ini yang dimaksud dengan “menyembah Allah dalam roh dan kebenaran;” bukan hanya menyanyi, ikut doa, lalu kita menyembah-nyembah kepada Tuhan, melainkan di setiap saat hidup kita, kita menyenangkan Dia. Itulah lagu, pujian, dan penyembahan kita. Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang akan berlanjut nanti di kekekalan. Kita akan bisa mengalami hal-hal yang luar biasa. Setiap kali kita berbuat salah, kita bukan hanya minta ampun, tetapi kita bertekad untuk tidak mengulangi lagi kesalahan itu—bahkan kesalahan yang tidak pernah atau belum pernah kita lakukan, juga kita tekadkan untuk tidak kita lakukan. Oleh sebab itu, tentu kita harus memiliki keberanian di dalam hal ini. Ingat, kalau tidak demikian kita mau apa dalam hidup ini? Bagaimana kita bisa mengisi hidup kita secara benar kalau tidak berbuat demikian? Bagi banyak orang, hal ini terkesan berlebihan. Tetapi kalau kita suatu saat kita melihat kekekalan, kita akan tahu bahwa hal ini hal yang standar, yang wajar.
Ketika kita melihat kekekalan yang dahsyat—bagaimana mengerikannya orang yang terpisah dari Allah, dan betapa agung, mulia, dan beruntungnya orang yang bersama-sama dengan Tuhan—baru kita tahu bahwa apa yang kita lakukan ini adalah hal standar. Kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan menjadi pelajaran berharga agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama atau kesalahan yang lain. Kita hidup hanya untuk menyenangkan hati Allah, dari waktu ke waktu, dari menit ke menit agar kematian yang kita tunggu menjadi kematian yang bermartabat.
Kita bukan hanya tidak berbuat salah, melainkan kita juga sungguh-sungguh mau mencari apa yang Tuhan kehendaki; itulah langkah ofensif.