Mari kita memperkarakan dengan sungguh-sungguh, bagaimana relasi kita dengan Tuhan saat ini. Sejatinya, hal ini harus kita pandang sebagai yang terutama dalam hidup ini. Menjadi suatu kekhawatiran apabila relasi kita dengan Tuhan belumlah relasi yang baik, relasi yang seharusnya kita miliki. Memiliki relasi dengan Tuhan secara benar, secara baik, secara proporsional, sesuai dengan usia rohani kita, bukan sesuatu yang mudah. Dikatakan “sesuai dengan usia rohani,” maksudnya setiap orang dituntut memiliki relasi yang baik, yang ideal, yang proporsional sesuai dengan waktu perjalanan hidup yang dimiliki oleh seseorang.
Ingat, “Yang diberi banyak, dituntut banyak.” Kalau seseorang baru menjadi Kristen dua bulan, tentu ia tidak dituntut oleh Tuhan untuk memiliki relasi dengan Dia secara benar seperti mereka yang sudah menjadi Kristen selama 20 tahun. Beda tuntutannya. Sama seperti relasi antara orang tua dan anak, itu harus terus meningkat. Anak usia 3 tahun, memiliki relasi dengan papa mama. Tetapi ketika anak usia 30 tahun, relasi antara anak dan orang tua, mestinya sudah berbeda. Lebih matang, lebih dewasa. Maka, harus benar-benar dipertimbangkan, seberapa yang mestinya kita sudah capai dengan usia rohani kita?
Tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mempersoalkan seberapa yang mestinya dia harus capai dengan usia biologis dan usia rohani yang dimilikinya. Karena juga tidak pernah memikirkan seberapa yang seharusnya dia sudah capai. Maka, kita harus benar-benar mempersoalkannya dengan Guru Agung, Tuhan Yesus. Harus sungguh-sungguh mempersoalkannya dengan Bapa di surga. Benar-benar mempersoalkannya.
Tuhan Yesus berfirman, “Bekerjalah untuk roti yang tidak dapat binasa.” Jangan hanya bekerja untuk roti yang dapat binasa, bekerjalah untuk roti yang tak dapat binasa. Ini bicara mengenai berkat kekal yang kita dapat miliki dan tidak akan pernah dapat diambil oleh siapa pun, tetapi kita miliki di dalam kekekalan. Lalu ketika murid-murid bertanya, “Pekerjaan apakah itu, Tuhan?” Tuhan menjawab, “Percayalah kepada Dia yang diutus oleh Bapa” (Yoh. 6:29). Percayalah; percaya itu bukan sekadar aktivitas pikiran, hanya menyangkut nalar, tetapi percaya itu melibatkan seluruh kehidupan kita.
Maka, dikatakan “bekerjalah.” Ini melibatkan seluruh kehidupan kita. Lalu, apa yang harus dilakukan? Percaya. Percaya adalah kegiatan hidup yang harus mewarnai seluruh hidup kita. Semestinya, seluruh kehidupan kita adalah perjalanan percaya. 2 Korintus 5:7 mengatakan, “Hidup kami bukan karena melihat, tetapi karena percaya.” Maka, yang harus menggusarkan kita bukan karena belum menikah, belum punya anak, belum punya fasilitas, atau tidak punya jaminan hari esok di bumi ini. Melainkan mestinya yang menggelisahkan kita adalah keadaan hidup rohani kita. Keadaan hidup rohani kita yang bertalian dengan relasi kita dengan Allah.
Jika kita mengerti hal ini, artinya kita benar-benar memfokuskan hidup kita, menjalani percaya kita, kita mengumpulkan harta di surga atau bekerja untuk roti yang tak dapat binasa. Jelas Tuhan Yesus berkata, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Di dalam Ibrani 5:11-14 firman Tuhan mengatakan, “Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik daripada yang jahat.”
Ajakan untuk melepaskan semua kesenangan dan percintaan dunia, hidup suci, jangan berbuat salah sekecil apa pun, dan jangan menyisakan apa pun memang merupakan ajakan yang tidak mudah untuk diterima dan dilakukan. Karena tidak sanggup, pancaindera rohaninya tidak terlatih. Mereka memang tidak menolak, karena punya etika, mereka diam saja, tetapi tidak melakukan. Tidak melakukan, dan mereka tenang-tenang saja. Minggu depan datang lagi, dengar lagi. Sampai akhirnya mereka jadi imun. Karena mereka sudah terbelenggu dengan percintaan dunia, dan mereka tidak mau melepaskan belenggu itu, dan itu yang membuat mereka lamban.
Tetapi, kalau kita sungguh-sungguh memperkarakan hidup kita dengan Tuhan setiap hari, maka kita akan mengerti apakah kita sudah mencapai kedewasaan yang mestinya kita harus capai sesuai dengan usia biologis dan rohani kita? Tuhan pasti menuntun kita memiliki kecerdasan rohani untuk menilai diri, sehingga tidak ada orang yang berkata kalau Tuhan diam saja. Ingat! “Hanya orang yang haus dan lapar akan kebenaran yang dipuaskan. Hanya orang sakit yang membutuhkan tabib.” Masalahnya, seriuskah kita memperkarakannya? Orang yang serius memperkarakan kualitas relasinya dengan Allah berarti ia menghormati Allah.
Orang yang serius memperkarakan kualitas relasinya dengan Allah berarti ia menghormati Allah.