Skip to content

Krisis akan Kekekalan


Dalam kehidupan ini pasti kita memiliki perasaan krisis. Biasanya ada banyak penyebab atau kausalitas yang membuat kita memiliki perasaan krisis ini. “Krisis” sinonim dengan kata “kemelut;” yaitu setiap peristiwa yang sedang terjadi atau diperkirakan mengarah pada situasi yang tidak stabil dan berbahaya, yang dapat memengaruhi individu, memengaruhi kelompok atau komunitas. Di dalam kata “krisis” itu ada unsur khawatir, cemas. Pasti kita semua pernah mengalami perasaan ini, atau mungkin sedang ada dalam situasi itu. 

Perasaan krisis jangan selalu dipandang negatif, karena bisa juga memiliki peran positif di dalam kehidupan. Orang tua yang memiliki perasaan krisis mengenai kehidupan hari esok anaknya, maka tindakannya adalah mengasuransikan pendidikan untuk anaknya, mempersiapkan jalan bagi usaha anak ke depan. Karenanya, orang tua bekerja keras membangun bisnis atau usaha yang nanti akan diwariskan kepada anak. Mahasiswa yang memiliki perasaan krisis yang dapat menyebabkannya gagal studi, tidak lulus, harus mengulang, sehingga menunda bekerja. Ini perasaan krisis juga, tetapi itu bisa memberi dampak positif atau memberi peran yang positif. Karenanya, dia belajar rajin agar bisa berprestasi dalam kuliahnya.

Jadi harus diakui, ada perasaan krisis yang positif dan ada perasaan krisis yang negatif. Dalam kehidupan manusia pada umumnya, perasaan krisis biasanya menyangkut hal-hal pemenuhan kebutuhan jasmani. Perasaan krisis seperti itulah yang menyandera dan membelenggu seseorang, sekaligus mengarahkan hidup seseorang. Menjadi berbahaya jika arah hidupnya bukan kepada Allah atau Kerajaan Surga. Perasaan krisis seperti itu yang juga kita lihat dalam kehidupan orang di sekitar kita. Namun, ingat! Perasaan krisis yang tidak dihubungkan dengan kekekalan adalah perasaan krisis negatif

Tidak ada seorang pun yang ingin terpisah dari Allah. Setiap orang tidak ada yang ingin masuk neraka. Tetapi perasaan krisis terhadap neraka, tidak pernah terlihat dengan jelas dalam hidupnya. Perasaan krisis terpisah dari Allah, tidak kita lihat dalam kehidupan mereka. Pernahkah kita bertemu orang yang memiliki perasaan krisis karena belum berdoa hari itu? Kalau jujur, jawabnya jarang kita menjumpainya. Pernahkah kita menemukan orang yang memiliki perasaan krisis karena tidak ke gereja? Sedikit sekali. Lalu, jika pertanyaan itu untuk kita, apa jawaban kita?

Lebih dari apa pun, kita harus mengejar kebenaran yang mempersiapkan kita untuk menyongsong kekekalan, dan hal itu tidak akan membuat kita merasa krisis. Kita dari kecil sudah mengalami banyak krisis; dari satu krisis ke krisis berikut, tenggelam dengan berbagai krisis kehidupan. Lalu, semakin hari seiring dengan bertambahnya umur, bertambahnya skala bisnis dan kapasitas hidup yang kita hadapi, justru kita makin tenggelam, makin hanyut. Memang kita tidak bisa terhindar dari krisis-krisis itu. Kita pasti akan menghadapi krisis, sampai masuk kubur. Jadi jangan harap tidak menghadapi krisis. Pasti setiap kita menghadapi krisis. 

Melihat cucu, dapat membuat kita bertanya dalam hati, “Aduh, jadi apa cucuku nanti?” Melihat perkembangan dunia, melihat eskalasi politik, ketegangan antara Barat dan Rusia plus Cina yang bisa menegangkan. Jadi apa dunia ini nanti? Akhlak manusia pun semakin rusak. Yang mestinya mengamankan, ternyata perlu diamankan. Kalau sudah fenomenanya begini, mengerikan. Sudah rusak, dunia ini. 

Tetapi, mari kita membuka cakrawala berpikir kita. Mari kita berpikir dalam skala kekal, skala manusia. Ya, kita semua manusia. Ada manusia yang berpikir skala manusia, dan manusia yang berpikir skala hewan. Maksudnya, orang yang menggunakan cara berpikir skala hewan, maka prinsip hidupnya adalah “mari kita makan dan minum, sebab besok kita mati.” Jadi, seakan-akan tidak akan ada kelanjutan kehidupan ini. 

Firman Tuhan mengatakan di 1 Korintus 15, “Janganlah kamu sesat. Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik.” Sekarang, ayo kita bergaul dengan orang-orang yang bisa membawa kita bukan kepada kebiasaan yang buruk, tetapi kebiasaan yang baik. Yang terutama, kita harus bergaul dengan Allah. Hal ini sudah berkali-kali diserukan, khususnya kepada para teolog, yaitu jangan hanya belajar teologi, memiliki pengetahuan tentang Allah, dan akhirnya merasa sudah mengenal Allah. Harusnya teolog memiliki pengetahuan tentang Allah yang benar, plus mengalami Allah yang benar tersebut. Supaya jemaat juga jangan hanya memiliki pengetahuan Allah secara fantasi. 

Banyak orang yang memiliki pengetahuan, pengenalan akan Allah hanya dalam fantasi. Namun ironis, mereka tidak pernah berjumpa dengan Allah secara benar. Apalagi orang yang dari kecil beragama Kristen. Sering kali justru lebih rusak, karena merasa dirinya sudah mengenal Tuhan. Pengalaman liturgi sejak kecil dari Sekolah Minggu sampai tua hari ini, dianggap pengenalan akan Allah yang standar. Mereka puas dengan keadaan itu. Sejatinya, itu sebenarnya miskin. 

Perasaan krisis yang tidak dihubungkan dengan kekekalan

adalah perasaan krisis negatif