Skip to content

Konsekuensi Penyembahan

Saudaraku sekalian yang kekasih,

Banyak orang yang tidak mengerti dan tidak menyadari konsekuensi dari menyembah Allah. Memang dengan sangat terpaksa harus dikatakan lebih baik tidak mengucapkan kata-kata penyembahan daripada mengucapkan kata-kata penyembahan, tetapi tidak memenuhinya. Itu seperti mencemooh Tuhan. Jadi kalau orang tidak menyembah Tuhan karena memang ia tidak memiliki sikap hidup yang menyembah Tuhan; itulah keadaannya. Ia malah bisa dikatakan tidak munafik karena memang begitulah keadaannya; ia jahat. Tetapi kalau menyembah Tuhan tetapi tidak memenuhinya, maka ia jadi munafik; seperti mengolok-olok atau seperti mencemooh Tuhan. Seperti ketika Yesaya mendengar penyembahan itu, “kudus, kudus, kuduslah,” ia menyadari betapa dirinya itu orang berdosa (Yes. 6:1-8). Dan kalau kita berkata, “kudus, kudus, kuduslah Tuhan,” maka kita harus membayar harga dari pernyataan itu, konsekuensi dari pernyataan itu. 

Maka kalau kita mengakui Allah itu kudus, kita harus menghormati kekudusan Allah, bukan dengan sekadar perkataan, melainkan dalam seluruh kehidupan. Jadi ketika kita benar-benar hidup tidak bercela, dari hal itu berarti kita menghormati kekudusan Allah. Sebaliknya, kalau kita masih sembarangan hidup—atau dengan kata lain yang lebih mudah dimengerti: kalau kita tidak hidup suci—berarti kita tidak menghormati kekudusan Allah. Sebab kalau berkata, “kudus, kudus, kuduslah Engkau, ya Allah,” hanya di mulut tanpa keadaan hidup kita yang benar-benar kudus, berarti kita munafik; kita tidak menghormati Allah. Ini konsekuensi dan resiko yang tidak mudah. 

Tetapi kalau kita mengerti kebenaran ini dan belajar untuk memenuhinya, ini menjadi keuntungan besar. Allah tahu bahwa kita tidak munafik, walaupun dalam kenyataannya bisa saja kita masih salah. Tetapi kita berusaha sungguh-sungguh untuk tidak bercacat dan tidak bercela. Makanya kalau kita berdoa jangan hanya sibuk dengan permintaan-permintaan yang “abal-abal.” Mintalah hal yang besar. Dan hal yang besar itu adalah kekudusan atau kesucian hidup. Kalau kita menyembah Tuhan dengan mengatakan, “Engkau yang Mahamulia,” itu berarti tidak ada sesuatu yang kita anggap mulia selain Dia. Kalau kita berkata, “Engkau Mahamulia, ya Bapa,” konsekuensinya kita tidak memandang sesuatu itu mulia selain Allah. Dan kalau kita memandang Allah itu mulia, maka Dia itu Allah menjadi kebahagiaan kita, menjadi sukacita kita. 

Ketika kita berkata, “Engkau Mahabesar Tuhan, Engkau Mahakuat, Tuhan,” konsekuensinya adalah kita tidak boleh takut menghadapi apa pun. Kita nyatakan iman kita, kepercayaan kita, pengakuan kita bahwa Allah itu Mahabesar, Mahakuat, dengan menyerahkan hidup kita dalam tangan-Nya, keluarga kita dan seluruh masalah-masalah hidup kita. Dan kita harus meneduhkan jiwa kita karena kita memercayai bahwa Dia itu hidup, Dia nyata. Kalau kita bicara mengenai Allah yang kuat, maka kita menjadi orang yang berbahagialah karena kita berlindung kepada Tuhan yang mahakuat. Mari kita belajar supaya kita tidak munafik. 

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono

Kalau kita mengakui Allah itu kudus, konsekuensinya adalah kita harus hidup kudus; bukan sekadar perkataan, melainkan dalam seluruh kehidupan.