Banyak orang tidak menyadari betapa kompleksnya keadaan dirinya: karakter, watak, manner, attitude, sikap hidup. Banyak orang menganggap sederhana, dan inilah yang membuat banyak orang gagal menjadi manusia yang berkenan kepada Tuhan. Ini yang menjadi penyebab mengapa banyak orang gagal menjadi berkat bagi orang lain.
Di Sekolah Tinggi Teologi, hal ini juga tidak muncul ke permukaan. Sebab, sulitnya studi dipahami pada sulitnya mengerjakan tugas-tugas perkuliahan, membuat karya ilmiah, jurnal ilmiah, dan lain sebagainya. Dalam pelayanan, kesulitan diarahkan pada atau ditekankan pada masalah keuangan, organisasi, dan lain sebagainya. Tapi tidak mengarahkan jemaat pada masalah rumitnya mengubah karakter, watak, attitude, sikap, yang padahal sangat kompleks, rumit. Tetapi tidak dipandang rumit.
Sejatinya, ini yang membuat seseorang gagal menjadi hamba Tuhan yang memberkati orang. Ini yang membuat seseorang gagal menjadi manusia yang unggul atau excellent. Tetapi ironisnya, banyak orang di luar Kristen yang menyadari hal ini, sehingga mereka berusaha untuk membuat atau membenahi manner, karakter, attitude. Ada filsafat-filsafat atau budaya-budaya lokal, atau kearifan lokal yang memberi tekanan pada hal ini, dan mereka bisa membentuk atau membangun manusia yang unggul atau yang baik. Misalnya, kebatinan Jawa yang memiliki tekanan pada pembentukan batin, menanggulangi kompleksitas atau kerumitan karakter, watak, sikap.
Kita jarang menemukan individu yang ucapannya begitu teduh, tidak ada unsur membanggakan diri, tidak ada unsur melukai orang, tidak memanfaatkan orang lain, tidak materialistis, penuh belas kasihan, menerima orang sebagaimana adanya, tidak menuntut orang menjadi seperti yang dia ingini. Yang itu dibahasakan oleh Tuhan Yesus dengan, “Apa yang kamu suka orang perbuat kepadamu, buatlah.” Tahu ayat itu, tapi jarang dikhotbahkan, karena menganggap kompleksitas keberadaan diri seseorang itu bukan hal yang perlu diperhatikan. Kalau kita melihat orang jahat, kita berpikir, “Jahat sekali orang itu, kok bisa ya orang sejahat itu?” Tapi kemudian kalau kita melihat orang yang mestinya tidak jahat karena berada di lingkungan orang-orang baik, kita semakin bingung, “Kok bisa ya dia jahat? Dia tega di tengah-tengah lingkungan yang mestinya mengondisi dia jadi baik.”
Lebih bingung lagi kalau kita bertemu dengan orang atau hidup bersama dengan orang yang kita kenal sebagai orang yang benar-benar baik, tapi kemudian menjadi jahat. Tentu jahatnya tidak seperti orang jahat pada umumnya; tapi dia jadi licik, tega terhadap orang bahkan kepada orang dekatnya, sombong, mengorbankan orang lain. Atau, orang yang dulu kelihatannya begitu penuh pengabdian ternyata materialistis, melakukan segala sesuatu dengan ukuran untung rugi. Kita bingung dan gundah melihat keadaan hidup seperti ini, kompleksitas seperti ini. Mengapa begitu? Ketika kita dengan jujur melihat diri sendiri dan berusaha untuk mencapai kesucian hidup, baru kita bisa mengenali betapa kompleksnya karakter, watak, attitude kita. Kelihatannya sopan tapi tidak sopan, kelihatannya lemah lembut padahal itu licik. Belum dosa-dosa yang lain dan itu biasa kita mainkan sejak muda sampai tua.
Tentu kita berusaha menjadi orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Dan Yesus juga mengajar kita, “Kamu harus sempurna seperti Bapa.” Jadi ketika kita berusaha untuk hidup benar-benar menyenangkan hati Tuhan, tidak berbuat salah dari hal kecil sampai hal besar, kita baru sadar betapa kompleksnya diri kita, penuh dengan kemunafikan. Sebenarnya Tuhan sudah memberikan kita sinyal, isyarat betapa kompleksnya hidup kita ketika Ia mengatakan, “Kamu mendengar firman jangan membunuh, tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang membenci saudaranya, dia seorang pembunuh.”
Itu masalah kompleks. Apakah kita mengerti arti mengasihi sesama? Mengerti bagaimana membenci? Kita memang tidak mengatakan, “Aku benci kamu,” tapi hati kita menaruh dendam. Ayat lain mengatakan, “Engkau melihat lawan jenismu, engkau mengingininya, kamu berzina.” Masalah yang terkait dengan daging ini, tapi juga dalam pikiran, keinginan, itu kompleks. Bagaimana bisa mengenali keadaan kita seperti itu? Dan kita sering tidak serius memperkarakan hal ini. Membenci itu membunuh, tapi kita tidak memperkarakan apakah kita sudah mengasihi atau membenci musuh-musuh kita?
Kalau kamu mengasihi orang yang kamu kasihi atau yang mengasihi kamu, apa bedanya dengan orang dunia? Itu kompleks. Sebab kenyataannya memang kita tidak bisa mengasihi orang yang tidak mengasihi kita, bukan? Kalau kita ingat-ingat orang yang pernah mengkhianati, kita tidak berkata “Terkutuk orang itu!”. Tapi hati kita bisa tidak suka. Atau kita tidak mengatakan, “Aku benci kamu.” Tetapi kita bisa benci tanpa kita sadari. Jadi, yang pertama, ketika kita mulai memperkarakan kesucian yang sempurna, di situlah kita mulai menyadari kompleksitas karakter manusia.