Pembenaran dimaksudkan agar Allah bisa menaruh Roh-Nya di dalam diri kita; supaya kita bisa diterima Allah, murka Allah bisa disurutkan, keadilan Allah ditegakkan di mana setiap dosa harus mendapat ganjaran. Yesus yang jadi pemikul dosa. Ia menerima ganjarannya. Sudah selesai. Tetapi, keadaan kita yang belum selesai. Dianggap tidak berdosa, tetapi kita masih dalam keadaan berdosa. Maka, keadaan berdosa harus diganti dengan tidak berdosa. Itulah sebabnya kita harus digarap supaya kudus seperti Tuhan kudus.
Mau sehebat apa sih kita? Pada akhirnya, semua manusia akan mati juga. Maka, kita harus punya penglihatan beyond the grave, penglihatan kekekalan, sehingga kita sudah bisa mempertimbangkan semua dari sudut pandang kekekalan. Jadi, hidup ini bernilai karena kita punya kesempatan; kesempatan berjalan dengan Tuhan. Di dalam perjalanan itu Tuhan mau mendidik kita. Jadi, kalau Tuhan Yesus berkata, “… jadikanlah semua bangsa murid-Ku,” sejatinya Tuhan Yesus yang mendidik kita masing-masing melalui Roh Kudus.
Para hamba Tuhan adalah mentor yang mengarahkan, tetapi tidak bisa mengubah. Jadi kalau orang berkata, “Wah, khotbahnya mengubah saya,” sebenarnya yang mengubah itu Roh Kudus dan orang tersebut meresponi Roh Kudus. Dan hari-hari hidupnya, detik ke detik hidupnya itu yang menentukan. Yang penting kita harus berubah; perubahan kodrat, dari kambing menjadi domba. Itu tidak mudah. Tetapi, hal itu bisa terjadi karena Roh Kudus itu hebat mengubah kita. Kebersamaan dengan Allah itu untuk mengubah kita. Allah tidak bisa mengubah kita tanpa kebersamaan dengan-Nya.
Herannya, kita malah tidak mau bersama, tetapi justru bergaul dengan banyak hal yang sesuai kemauan kita sendiri; yang bisa mengganggu pendewasaan kita melalui tontonan dan apa yang didengar. Padahal, waktu itu berharga. Kita harus mengejar ketinggalan kita, menebus kesalahan kita. Jadi, setiap pagi kita wajib berdoa yaitu duduk diam di kaki Tuhan. Kita minta petunjuk Tuhan di pagi itu. Dan mestinya kita hidup di hadirat Tuhan setiap hari.
Dan kita tahu, bagaimana manusia pada umumnya atau hampir semua manusia, memiliki cara berpikir yang sesat dengan beranggapan seakan-akan hidup itu hanya sekali di bumi ini, dan tidak ada kehidupan lain setelah ini. Itu salah. Memang hidup di bumi ini hanya sekali, tetapi ada kehidupan yang akan datang. Ini penting. Banyak orang sesat pikirannya dan itu sudah mencengkeram seluruh syaraf jiwanya. Struktur jiwanya sudah dicengkeram oleh pemikiran, bahwa hidup hanya sekali di bumi ini dan di luar ini tidak ada kehidupan. Mereka telah dibodohi dengan pikiran itu.
Tetapi sebaliknya, kita tahu hidup itu memang sekali di bumi ini, tetapi masih ada kehidupan lain yang akan datang setelah kematian. Dan kehidupan yang sekali di bumi ini haruslah kita gunakan dengan benar sebagai persiapan untuk kehidupan yang akan datang. Jadi, kehidupan sekarang ini bukanlah kehidupan yang menjadi tujuan, bukanlah kehidupan yang menjadi pelabuhan terakhir, bukan kehidupan yang menjadi terminal akhir melainkan kehidupan yang menjadi transisi. Ini penting. Namun untuk mengubah cara berpikir ini tidak mudah. Karena dari kecil kita sudah dicengkeram dengan pola pikir yang salah yang kita warisi dari orang tua dan juga kita serap dari lingkungan atau pergaulan kita. Lalu sudah mengkristal di dalam pikiran: Hidup hanya sekali.
Maka ada orang yang berkata, “Aji mumpung.” Mumpung masih muda, nanti kalau sudah tua tidak bisa senang-senang lagi. Ketika dewasa muda, mumpung belum tua banget. Setelah tua, mumpung masih hidup sebab kalau sudah sekarat, tidak bisa mumpung lagi. Mari kita ubah cara berpikir kita bahwa hidup yang sesungguhnya itu nanti yaitu setelah kematian. Jika kita bisa menghayati dengan benar, bahwa hidup yang sesungguhnya itu nanti, maka kita tidak akan bisa terikat oleh keindahan dunia yang fana ini. Walaupun kita bisa menggapainya, tetapi kita bisa tidak terikat dengan dunia ini lagi. Sampai pada penghayatan yang kokoh, yang kuat.
Kita harus berani berjanji, “Aku mau hidup suci, Tuhan. Aku ingin buat janji, aku bersumpah untuk hidup tak bercacat tak bercela. Aku bersumpah tidak mencintai dunia, tidak memiliki kesenangan selain Engkau Tuhan.” Tetapi jangan berpikir kita tidak bisa menikmati kesenangan. Kita masih bisa minum susu, bisa minum gula manis, bisa menikmati lezatnya masakan, tetapi kita tidak terikat. Menikmati kesenangan atau memandang keindahan tanpa terikat. Jangan sampai, ada kesenangan yang membuat kita tidak merindukan Langit Baru Bumi Baru. Kalau kita sampai tidak merindukan bertemu dengan Tuhan Yesus, artinya ada yang salah dalam cara kita menjalani hidup.
Hidup ini bernilai karena kita punya kesempatan; kesempatan berjalan dengan Tuhan.