Selama bertahun-tahun, para teolog Kristen menentang keras kalau ada usaha untuk mencoba menyejajarkan Allah dengan manusia. Memang benar, Allah tidak bisa disejajarkan dengan apa pun dan siapa pun, apalagi disejajarkan dengan ciptaan-Nya, seperti manusia. Tetapi sikap tersebut jangan sampai menjadi ekstrem sehingga gagal menempatkan manusia pada proporsinya. Manusia ditempatkan sekadar sebagai makhluk ciptaan yang tidak memiliki unsur keilahian sama sekali, seakan-akan sama dengan ciptaan Allah yang lain. Unsur keilahian artinya unsur-unsur yang ada pada Allah sebagai “Master Plan”-nya, unsur-unsur itu adalah kemampuan moralnya. Alkitab jelas menunjukkan bahwa manusia diciptakan menurut rupa dan gambar Allah. Pernyataan ini sendiri sudah memberi indikasi bahwa pasti ada unsur-unsur yang ada pada Allah, juga ada pada manusia. Dalam Alkitab dikatakan bahwa Adam adalah anak Allah (Luk. 3:38). Lebih tegas dan kontroversi lagi, Paulus menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Allah (Kis. 17:28-29). Kata “keturunan” dalam teks aslinya adalah genos (ένος) (Ing. offspring, race, stock, descendants); kata yang sama digunakan untuk pengertian keturunan secara umum. Pernyataan ini bukan bermaksud meninggikan derajat manusia dan melecehkan Allah. Paulus sendiri yang kita percayai memiliki karunia untuk menyampaikan pesan Allah pun menyatakan demikian.
Pernyataan Paulus ini bukan tidak berdasar. Sebab, kalau kita memperhatikan kisah penciptaan manusia, maka kita dapati bahwa “roh” manusia bukanlah sesuatu yang berasal dari sumber lain. Roh manusia bukan diciptakan, tetapi “dikeluarkan” dari dalam diri Allah. Jadi roh manusia adalah roh yang berasal dari Allah sendiri. Roh manusia tidak bisa dikatakan diciptakan, sebab keluar dari diri Allah ketika Allah menghembuskan nafas-Nya (Kej. 2:7). Tentu saja ketika Allah menghembuskan “sesuatu” tidak perlu menarik nafas terlebih dahulu. Dalam hal ini, berarti ada sesuatu yang berasal dari dalam diri Allah mengalir keluar. Itulah sebabnya dikatakan dalam Yakobus 4:5 bahwa roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu. Ia menghendaki roh manusia, sebab roh itu milik-Nya. Dalam Ibrani 12:9 dikatakan bahwa Allah adalah Bapa segala roh, artinya semua roh yang ada berasal dari Dia, termasuk roh manusia berasal dari Allah Bapa. Itulah sebabnya pula dengan tegas Alkitab menyatakan bahwa orang percaya adalah “manusia Allah.” Maksudnya “manusia Allah” di sini bukan berarti manusia sejajar dengan Allah atau bisa menjadi Allah, tetapi manusia bisa memiliki karakter atau moral seperti Allah yang adalah Bapanya.
Dengan demikian, bisa dimengerti kalau Allah Bapa rela memberikan Putra Tunggal-Nya. Hal tersebut jelas menunjukkan seakan-akan nilai jiwa manusia seharga dengan nilai Putra Tunggal-Nya. Nilai Putra Tunggal-Nya tak terhingga, sebab Dia adalah anak Tunggal-Nya. Dalam hal ini, seakan-akan demi menyelamatkan manusia, Allah Bapa memberikan diri-Nya sendiri. Sehingga, betapa mahal harga keselamatan yang Tuhan berikan tersebut. Itulah sebabnya kita tidak boleh menyia-nyiakan keselamatan yang begitu besar (Ibr. 2:3). Dengan memahami hal ini, maka seseorang dapat menghargai dirinya sendiri dengan benar, sebab menyadari betapa mulia dirinya itu. Itulah sebabnya kita tidak boleh membuat diri merasa berharga karena faktor lain (kedudukan atau pangkat, gelar, penampilan, kekayaan, popularitas, dan lain sebagainya). Kita berharga sebab memang kita bernilai tinggi sebagai keturunan Allah sendiri. Banyak orang menghargai diri secara salah yang berakibat justru menyia-nyiakan hidupnya. Pada umumnya, manusia menghargai diri dengan membuat dirinya dihormati orang lain.
Kalau seseorang sudah tidak menghargai dirinya secara benar dan mengalihkan penghargaan kepada hal-hal lain, maka ia tidak pernah mengenal keselamatan yang Tuhan berikan. Pernyataan dalam Yohanes 1:12 sama maknanya dengan Yohanes 10:10, bahwa Tuhan Yesus datang untuk memberi hidup agar manusia memiliki hidup tersebut dalam kelimpahan. “Hidup” dalam teks ini adalah zoe (ζωή), yang lebih menunjuk hidup yang berkualitas, bukan bios (βίος) yang menunjuk kehidupan makhluk pada umumnya. Sedangkan kata “berkelimpahan” dari teks aslinya adalah perissos (περισσός), yang artinya sangat tinggi dalam kualitas. Hidup yang berkelimpahan menunjuk pada kualitas moral yang tinggi. Moral di sini menyangkut hubungan dengan Tuhan, dengan sesama dan cara memandang dunia ini. Hidup yang berkelimpahan bukan berarti berlimpah materi, tetapi memiliki suatu kualitas hidup yang berkenan kepada Allah Bapa. Di dalamnya termasuk menikmati damai sejahtera walaupun tidak ditopang oleh materi.
Tuhan Yesus datang memberikan hidup, artinya Ia hendak mengembalikan manusia pada rancangan semula, memiliki kualitas hidup yang berstandar sebagai anak-anak Allah. Hal ini tidak bisa terjadi dengan sendirinya atau secara otomatis. Orang Kristen atau yang mengaku percaya dan menerima Dia tidak dengan sendirinya memiliki hidup yang berkelimpahan tersebut. Oleh sebab itu, orang percaya harus mau mengikut Tuhan Yesus, artinya mau belajar mengerti apa yang diajarkan dan bersungguh-sungguh mengikuti gaya hidup-Nya. Ia datang memberi hidup, sama artinya Ia datang mengajarkan hidup-Nya. Sebenarnya peta hidup manusia sudah jelas, bahwa di ujung perjalanan ini adalah kematian. Jika kita mati, maka tidak ada satu pun benda dan kehormatan manusia yang kita telah perjuangkan selama hidup akan kita bawa. Sebagaimana kita datang sendiri, kita akan pulang sendiri. Sebagaimana kita tanpa membawa apa-apa datang ke dunia ini, maka akan kembali dengan tidak membawa apa pun juga. Ini adalah sesuatu yang pasti. Seharusnya kita memikirkan apa yang bisa kita bawa sebagai bekal kekal dalam kehidupan yang akan datang nanti.
Kita berharga sebab memang kita bernilai tinggi sebagai keturunan Allah sendiri