Allah itu besar, maka kita pun harus berpikir dalam skala besar. Skala besar kita haruslah berorientasi pada dua hal. Yang pertama, kesucian. Yang kedua, pengorbanan tanpa batas seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Allah Bapa itu kudus dan suci, maka yang menjadi kawan sekerja Allah atau menjadi utusan dari Allah, juga harus suci. Secara estafet, Bapa mengutus Yesus; lalu Tuhan Yesus mengutus kita. Tuhan Yesus itu berkodrat ilahi. Dia bisa menjadi kawan sekerja Bapa untuk melakukan dan melaksanakan rencana Bapa. Maka, kalau kita mau menjadi pelayan-pelayan Tuhan, kita pun harus berskala besar, yaitu memiliki kesucian seperti Bapa.
Hal yang Bapa inginkan yaitu manusia menjadi ciptaan yang sesuai rancangan-Nya. Ini perkara besar. Jangan anggap remeh hal ini. Jika proses ini berlangsung sampai seseorang mengalami perubahan kodrat, yaitu segambar dan serupa dengan Allah dimana Yesus menjadi modelnya, ia pasti memiliki kesucian. Allah yang Mahabesar, dalam kekudusan-Nya hanya dapat berjalan dengan orang-orang yang kudus, yang bisa menjadi alat dalam tangan-Nya, menjadi utusan Allah.
Kalau di Perjanjian Lama, Allah bisa memakai siapa saja dan apa saja; keledai pun bisa dipakai berbicara. Tetapi, Allah hari ini tidak bekerja dengan cara seperti Perjanjian Lama, karena di Perjanjian Lama proyeksinya hanya sekadar manusia taat menuruti hukum, menyembah Yahweh, maka binatang atau siapa pun bisa dipakai. Tetapi tujuan pelayanan bukanlah sekadar manusia menjadi orang baik, melakukan hukum, menyembah Yahweh, melainkan agar manusia menjadi segambar dan serupa dengan Allah.
Maka, orang-orang yang dipakai oleh Allah secara ideal dan benar harus segambar dan serupa dengan Allah dulu supaya dia tahu apa yang harus dilakukan dalam pelayanan. Tujuannya pun harus jelas, jangan digantikan dengan kegiatan aktivitas pelayanan. Misalnya, yang dianggap penting ialah seseorang yang memiliki keahlian di bidang tertentu, apalagi punya jabatan di masyarakat, berpendidikan tinggi, dan beruang kemudian dianggap layak melayani. Hal ini sungguh merusak!
Lebih menyedihkan lagi, jangan digantikan dengan gelar. Gelar teologi bukanlah jaminan seseorang mengalami perubahan kodrat ilahi. Kecuali Sekolah Teologi itu benar-benar mengarahkan mahasiswanya untuk mengalami proses perubahan gambar diri untuk serupa dengan Yesus atau mengalami kodrat ilahi. Kesalahan ini sudah terjadi dan berlangsung selama berabad-abad. Mengerikan sekali! Sejujurnya, kita semua termasuk korban dan terbawa arus ini.
Di Perjanjian Lama, binatang seperti keledai bisa dipakai, karena memang proyeksinya, tujuannya hanya pada tataran umat menjadi baik menurut hukum atau tetap menyembah Elohim Yahweh, dan itu sudah cukup. Tetapi dalam Perjanjian Baru pelayanan berproyeksi atau bertujuan mengubah manusia untuk mengalami perubahan kodrat. Maka, orang-orang yang dipakai Allah menjadi utusan Allah—estafetnya Bapa mengutus Yesus, Yesus mengutus kita—harus berkeadaan seperti Yesus. Jangan digantikan dengan sekadar cakap dalam kegiatan pelayanan, atau lulus Sekolah Tinggi Teologi dan memiliki gelar kesarjanaan.
Kita harus serius mengevaluasi diri setiap hari, unsur-unsur apa yang masih bernuansa atau berbau manusia lama yang masih melekat di dalam diri kita. Ini perkara besar, lebih besar dari masalah menikah, punya anak, dan lain-lain. Kalau kita mau berpikir dalam skala besar, mulailah dari hal ini dulu. Nanti, baru kita akan masuk dalam pelayanan, berpikir dalam skala besar di mana kita akan mempersembahkan bukan hanya uang, tenaga, melainkan juga darah, tetesan keringat, bahkan nyawa kita, dan seluruh hidup kita tanpa dipaksa; karena memang sudah menjadi irama, sehingga itu terjadi secara otomatis.
Jika kita berproses seperti ini, maka kita bisa berpikir dalam skala besar; dimulai dari keluarga inti, keluarga besar, masyarakat sekitar, negara, sampai dunia. Tidak akan terbendung, karena Allah memiliki rancangan yang besar yaitu tidak seorang pun binasa. Jadi, kita juga harus berpikir besar. Sayangnya, hampir tidak kita temukan orang yang dapat berpikir dalam skala besar ini, karena jarang orang yang serius betul-betul mau mengalami perubahan kodrat.
Jangan ada ketertarikan kepada sesuatu yang lebih dari ketertarikan kita untuk berkodrat ilahi, menjadi manusia baru. Tentu hal ini ada prosesnya, tetapi kita percaya ada percepatan-percepatan yang bisa membantu kita. Oleh sebab itu, kita harus mengevaluasi diri kita dengan benar, apakah ada unsur-unsur manusia lama atau unsur-unsur kekafiran yang tersisa di dalam hidup kita. Hidup ini sudah tidak ada yang kita harapkan, kecuali berkodrat ilahi. Apa pun yang terjadi dalam hidup kita, yang penting kita dapat mencapai kesucian seperti kesucian Bapa, lalu bagaimana kita bisa menjadi seorang yang tidak bercacat dan tidak bercela di hadapan Allah.
Jangan ada ketertarikan kepada sesuatu yang lebih dari ketertarikan kita untuk berkodrat ilahi, menjadi manusia baru.