Skip to content

Ketepatan Frekuensi

Pernahkah Saudara memanah? Kalau panah untuk kelas profesional, itu tidak ringan. Waktu kita tarik tali busurnya saja, sudah terasa berat. Kadang-kadang, wanita yang tidak memiliki tenaga yang cukup, tidak bisa; anak panahnya tidak akan sampai ke target. Harus ditarik kuat dulu kemudian dilepas, sehingga meluncur sampai target. Menariknya saja sudah berat, apalagi membidiknya. Ini masalah yang berbeda. Hidup ini seperti memanah; ada target yang harus dituju. Bagi orang percaya, hidup seperti memanah merupakan perlombaan yang wajib (Ibr. 12:1). Ini targetnya. Perlombaan yang wajib ini adalah memiliki iman yang sempurna seperti Yesus, yaitu hidup dalam penurutan terhadap kehendak Allah. Hal ini sama dengan Yesus adalah tujuan hidup. Kalau Yesus menjadi tujuan hidup, ini sama dengan Allah adalah tujuan hidup, yaitu melakukan kehendak-Nya dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Dengan demikian, target yang harus dicapai adalah Tuhan. Target studi, target bisnis, target rumah tangga, target keluarga, dan target apa pun itu, tidak melebihi target Tuhan. Target yang paling jauh adalah Tuhan, artinya semua kegiatan yang kita lakukan, demi mencapai target terjauh tersebut, yaitu Tuhan.

Harus selalu kita ingat bahwa mencari uang itu lebih mudah daripada mencari Tuhan. Tetapi banyak orang berpikir bahwa mencari Tuhan itu lebih mudah, sehingga orang mengulur-ulur waktu, menunda-nunda, bahkan menganggap remeh hal tersebut, sehingga sikap itu menjadi sikap mencelakai dirinya sendiri. Orang seperti ini pasti binasa, karena tidak menghormati Tuhan. Orang-orang seperti ini tidak menjadikan Tuhan sebagai tujuan hidupnya. Harus diingat, bahwa target yang paling jauh itu Tuhan. Kalau kita tidak mengerahkan segenap tenaga dan pikiran kepada atau untuk Tuhan, maka tidak akan sampai. Tentu pernyataan ini bukan berdasarkan sembarang kata atau pikiran. Ini adalah firman Tuhan. Dalam Injil Matius 22:37-40, tertulis “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap akal budimu, dan segenap kekuatanmu.” Dari ayat ini, tampak jelas bahwa Tuhan menghendaki agar kita mencari Dia. Dan untuk menemukan Dia, harus dengan segenap hidup. 

Tuhan tidak cukup hanya dipikirkan, dipelajari secara nalar, dipercakapkan, didiskusikan, apalagi diperdebatkan. Tuhan sebagai target harus dialami, sehingga kita dapat membidik-Nya agar dapat tepat sasaran. Kita harus memiliki tekad untuk menemukan Allah. Walaupun kita belum benar-benar suci, tetapi kita harus nekat, senekat-nekatnya untuk bisa hidup tidak bercacat, tidak bercela. Pasti suatu hari kita akan sampai pada tingkat kesucian yang Allah kehendaki. Ini bukan hal yang hanya bisa dipercakapkan, tetapi harus segenap hati digumuli dalam kehidupan secara konkret. Kita harus nekat hidup suci. Dan selanjutnya, kita kita nekat untuk tidak memiliki apa-apa. Kita harus rela melepaskan segala sesuatu. Itu masalah batin. Mungkin secara fisik kita memakai baju bagus, kalau memang itu bagian kita; kita mempunyai berbagai fasilitas, tetapi hati kita tidak terikat dalam berbagai fasilitas yang kita miliki. Dulu pada waktu kita membeli barang-barang tersebut, kita belum memiliki kedewasaan rohani seperti hari ini. Seandainya waktu itu kita sudah dewasa, sangat besar kemungkinan kita tidak membeli barang-barang itu. 

Banyak perbuatan masa lalu yang kita sesali. “Mengapa dulu kita beli barang ini? Kenapa kita dulu punya barang ini? Kenapa dulu kita ingini ini? Kenapa dulu saya sukai itu?” Setelah menjadi dewasa rohani, sekarang menjadi tawar hati. Makin hari, dengan kecepatan tinggi kita dapat semakin tidak menyukai apa yang dulu kita sukai. Sekarang kita baru sadar, bahwa walaupun bukan hobi yang melanggar moral, bukan hobi yang jahat, tetapi hobi-hobi tersebut telah menyita perhatian; wasting time, wasting energy, wasting banyak hal, semua sia-sia, tidak ada gunanya. Sekarang, kita harus rela melepaskannya. 

Kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi, rela kehilangan dunia, rela tidak memiliki apa-apa. Salah satu kiat untuk bisa begitu adalah kita harus berpikir, kemungkinan hari ini adalah hari terakhir kita. Kalau kita mulai mengingini sesuatu, kita kalahkan keinginan tersebut dengan berpikir, “mungkin ini hari terakhir buat kita, mengapa kita mengingini hal itu?” Ketika kita kecewa, kita merasa ada kepahitan, kita sedih, banyak beban sehingga stres dan kesepian, kita bisa berkata: “Ini hari terakhir. Ayo, kuatkan diri. Sedikit lagi, waktuku akan habis.” Itu kalimat yang bagus, “sedikit lagi.” Kita lewati, sedikit lagi. Dari perjuangan itu kita akan bisa menemukan semacam ketepatan frekuensi. Kita menemukan Bapa: bagaimana kita bisa membahagiakan Bapa, bagaimana kita juga bisa menghormati Bapa, bagaimana Bapa bisa merasa bangga atas diri kita. Perasaan itu mulai dapat kita miliki terhadap Bapa di surga. Ketepatan frekuensi seperti ini, akan kita peroleh. Dan di sini sebenarnya kita mendapatkan pelajaran yang berharga, yaitu menjadi satu frekuensi dengan Allah.