Skip to content

Kesesatan Manusia

Mari kita merenungkan dan membayangkan seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa. Maka, Adam menemukan dan menjalani hidup sesuai dengan maksud dan tujuan kehidupan diciptakan oleh Allah. Adam sebagai manusia pertama, sebagai nenek moyang semua manusia, menemukan dan menjalani hidup sesuai dengan maksud Tuhan menciptakan hidup. Maka anak, cucu, cicit, dan seluruh keturunan Adam akan memiliki hidup sesuai dengan hidup yang ditemukan dan dijalani oleh Adam. Hal itu akan terus berlangsung dalam kekekalan. 

Tidak ada jenis hidup, gaya hidup, model hidup yang lain, selain yang dimiliki oleh Adam yang terus diturunkan, diwariskan kepada semua anak cucu dan keturunannya, sementara Adam sendiri tidak meninggal dunia. Jika manusia tidak jatuh dalam dosa, maka tidak ada kuburan. Tidak tidak ada model hidup selain model hidup yang dijalani oleh Adam yang terus diwariskan kepada semua makhluk manusia. Tetapi ternyata Adam telah jatuh dalam dosa. Belum sampai ribuan tahun, masih di tahun-tahun sesudah itu, pada Kejadian pasal 6, manusia sudah menjadi rusak. Alkitab mencatat, “kejahatan manusia besar di bumi, dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata.” Belum ribuan tahun, “maka menyesallah Tuhan bahwa Tuhan telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” 

Adam tidak mewariskan model hidup yang mestinya ditemukan dan dijalani untuk diwariskan kepada anak cucunya. Manusia bertambah menjadi jahat. Makin tahun, makin jahat. Alkitab mencatat bahwa kejahatan manusia akan semakin bertambah-tambah menjelang akhir zaman. Inilah zaman kita. 

Pada umumnya, hampir semua manusia, lahir, melihat model hidup yang diwariskan oleh orangtua dan yang dilihat dari dunia sekitarnya. Model hidup yang tidak sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Dalam Yesaya 53:6, “kita sekalian sesat seperti domba. Masing-masing kita mengambil jalannya sendiri. Tetapi (Yahweh) TUHAN telah menimpakan kepadanya,” maksudnya kepada Anak Tunggal-Nya, Tuhan kita, Yesus Kristus, “kejahatan kita sekalian.” 

Semua manusia telah sesat, selain berkeadaan sebagai orang berdosa karena mewarisi kodrat dosa dan menjalani hidup yang tidak sesuai dengan model yang Allah kehendaki. Tidak usah menunggu ribuan tahun, masih zaman purba saja kejahatan manusia begitu besar sampai memilukan hati Allah. Manusia sesat adalah manusia menjalani hidup tidak sesuai dengan model yang Allah kehendaki. Manusia mengambil jalannya sendiri, bukan jalan Tuhan. 

Kedatangan Tuhan Yesus ke dunia ini, selain memikul dosa-dosa, memikul kejahatan kita, yang kedua, tentu menjadi Gembala agar domba-domba mengikut Dia. Dia mati di kayu salib untuk domba-domba-Nya, tetapi Dia juga menjadi Gembala; gembala yang menuntun umat atau domba-domba. Banyak orang Kristen yang percaya kematian Yesus memikul kejahatan mereka, tetapi mereka tetap ada di jalan yang sesat. Semua manusia telah sesat, memilih jalannya sendiri. Tetapi, Yahweh menimpakan kejahatan manusia kepada Yesus. Banyak orang hanya sampai pada “Tuhan memikul dosa-dosa,” tetapi tetap sesat. Justru maksud Allah Bapa Yahweh mengutus Putra-Nya menjadi Gembala bukan hanya menyerahkan nyawa-Nya untuk domba-domba-Nya, melainkan juga memimpin domba-Nya itu ke rumput yang hijau, agar domba-Nya mengikuti jalan-Nya. 

Firman Tuhan mengatakan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya siapa yang masuk ke dalam kandang domba dengan tidak melalui pintu tetapi dengan memanjat tembok, ia adalah seorang pencuri dan seorang perampok.” Hati-hati, ada pencuri dan perampok yang mencuri, membunuh, dan membinasakan. “Tetapi siapa yang masuk melalui pintu, ia adalah gembala domba,” dia bukan pencuri, karena dia pemilik domba-domba itu. “Untuk dia, penjaga membuka pintu dan domba-domba mendengarkan suaranya,” suara gembala itu, “dan ia memanggil domba-dombanya masing-masing menurut namanya dan menuntunnya keluar.” 

Salah satu karakteristik domba di Israel yaitu mengenal suara gembala. Kalau ada beberapa gembala berkumpul, domba-domba mereka bercampur sedangkan gembalanya bercakap-cakap. Ketika sudah sore, masing-masing gembala akan bersiul untuk memanggil domba-dombanya. Kemudian, domba-domba itu akan memisahkan diri dan mengikuti suara gembalanya. Itulah karakteristik domba-domba di Israel. Dan ini luar biasa, karena bisa menjadi gambaran, ilustrasi untuk kebenaran ini. 

Jika semua dombanya telah dibawanya ke luar, ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti dia, karena mereka (domba-domba itu) mengenal suaranya. Tetapi seorang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari dari padanya, karena suara orang-orang asing itu tidak mereka kenal.” Pertanyaan yang harus kita tujukan kepada diri kita adalah, kita ini domba yang sesat atau domba yang tidak sesat? Jangan berpikir kalau sudah menjadi Kristen, ke gereja, menjadi aktivis, atau bahkan menjadi pendeta, berarti tidak sesat. 

Iblis begitu liciknya memudarkan atau membiaskan pengertian “sesat.” Pengertian “sesat” bagi hampir semua orang Kristen adalah jika pengajaran itu tidak sesuai Alkitab. Tidak sesuai Alkitab dari perspektif siapa? Kalau ada gereja yang jumlah jemaatnya banyak, umurnya sudah ratusan tahun, maka seakan-akan ada pengesahan dari Tuhan atau legitimasi dari Tuhan bahwa gereja itu benar. Inilah cara Iblis mengaburkan kata “sesat.” 

Jangan berpikir kalau sudah menjadi Kristen berarti tidak sesat.