Skip to content

Kesempatan Terakhir

Alkitab mengatakan, “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot untuk maksud yang mulia, dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia” (2Tim. 2:21). Tuhan ingin memakai kita menjadi alat di dalam tangan-Nya kalau kita layak dipakai. Ini bukan spekulasi, untung-untungan, atau takdir. Tetapi, ini tergantung dari tekad dan kesungguhan kita. Semua kita pasti memiliki jejak rekam. Coba kita bertanya kepada diri kita sendiri, “Apa yang sudah saya lakukan selama ini? Apa dampak yang saya lakukan untuk keluargaku, untuk keluarga besarku, untuk masyarakat sekitar, untuk gereja yang saya layani?” 

Kalau sampai hari ini rasanya kita belum berdampak, jangan putus asa. Tuhan berkemurahan atas kita, Ia masih memberikan kita kesempatan untuk berubah. Untuk itu, mari kita lihat sejarah Simson. Kehidupan Simson dimulai dengan pemberitahuan akan kelahirannya. Seorang pria dari suku Dan yang bernama Manoah, yang menikah dengan wanita yang mandul (Hak. 13:2). Kitab Hakim-Hakim menceritakan kejadiannya ketika Simson hendak mencari istri. Ia ingin menikahi seorang wanita Filistin meskipun orangtuanya menentang, dan bertolak belakang dengan hukum Allah yang melarang perkawinan dengan kaum berhala. Ibu dan ayahnya menemani Simson ke Timna dan mengatur pernikahannya. Dalam perjalanan Simson, seekor singa menyerang Simson. “Pada waktu itu berkuasalah Roh TUHAN atas dia, sehingga singa itu dicabiknya seperti orang mencabik anak kambing–tanpa apa-apa di tangannya” (Hak. 14:6). Di Gaza, Simson menghampiri seorang pelacur. Pada malam itu, ketika penduduk Gaza mendengar bahwa Simson sedang berada di kota mereka, mereka menanti kesempatan membunuhnya ketika fajar. Namun, Simson bangun pada tengah malam, “dipegangnya kedua daun pintu gerbang kota itu dan kedua tiang pintu, dicabutnyalah semuanya beserta palangnya, diletakkannya di atas kedua bahunya, lalu semuanya itu diangkatnya ke puncak gunung yang berhadapan dengan Hebron” (Hak. 16:3). Begitu hebatnya kekuatan yang dimiliki Simson.

  Namun ia lengah. Karena memiliki kekuatan tersebut, ia merasa dirinya dapat melanggar hukum mana pun. Pelanggaran Simson yang terus-menerus dilakukan telah mencapai titik akhirnya. Sebagai akibatnya, “Orang Filistin itu menangkap dia, mencungkil kedua matanya dan membawanya ke Gaza. Di situ ia dibelenggu dengan dua rantai tembaga dan pekerjaannya di penjara ialah menggiling” (Hak. 16:21). Orang Filistin ingin merayakan kemenangan mereka atas Simson, dan para penguasa berkumpul di kuil Dagon, dewa mereka, untuk memujinya karena telah menyerahkan Simson pada mereka (Hak. 16:23). Pada pesta itu, mereka mengeluarkan Simson dari penjara untuk mengoloknya. Dengan bersandar pada tiang-tiang penyangga kuil itu, “berserulah Simson kepada TUHAN, katanya: ‘Ya Tuhan ALLAH, ingatlah kiranya kepadaku dan buatlah aku kuat, sekali ini saja, ya Allah, supaya dengan satu pembalasan juga kubalaskan kedua mataku itu kepada orang Filistin'” (ay. 28). Allah mengabulkan permintaan Simson. “Membungkuklah ia sekuat-kuatnya, maka rubuhlah rumah itu menimpa raja-raja kota itu dan seluruh orang banyak yang ada di dalamnya. Yang mati dibunuhnya pada waktu matinya itu lebih banyak dari pada yang dibunuhnya pada waktu hidupnya” (ay. 30).

Kehidupan Simson mengajar kita akan pentingnya mengandalkan kekuatan Allah, bukan kekuatan pribadi kita; mengikuti kehendak Allah, bukan kemauan kita yang keras kepala; dan mencari hikmat Tuhan, bukan pengertian pribadi kita. Yang menjadi penghiburan kita adalah di dalam kegagalannya itu, Simson mencari Tuhan dan memohon belas kasihan Tuhan agar diberi kesempatan satu kali lagi. Dan di kesempatan terakhir itu, Simson bisa membunuh lebih banyak orang daripada yang pernah dia bunuh selama ini. Jadi, ia masih punya kesempatan untuk berkarya. Lalu bagaimana keadaan kita? Apakah kita menjadi alat di dalam tangan Tuhan atau tidak, tergantung kita. Tuhan benar-benar ingin ingin melawat dunia ini dengan kehadiran-Nya, dan Tuhan mau kita menjadi orang-orang yang menjadi saluran itu.

Kita harus memperkarakan hal ini dengan serius, karena kita bukan hewan. Kita manusia yang suatu hari harus mempertanggungjawabkan keadaan kita di hadapan Allah, di hadapan Bapa di surga. Kalau kita tidak mengambil keputusan segera untuk bertobat, kita akan kehilangan kesempatan. Satu kesempatan hilang, dua kesempatan hilang, tiga kesempatan hilang, sehingga kita tidak pernah menjadi seorang yang bisa dipercayai Tuhan. Jadi, sebelum kesempatan ini hilang, pulanglah. Peluklah kaki Bapa di surga dan berkata, “Aku pulang, Bapa. Aku mau menjadi alat di dalam tangan-Mu. Beri aku kesempatan.” Jangan hidup wajar seperti manusia lain yang hanya mencari nafkah, menghidupi istri, anak-anak, menjadikan anak-anak sekolah, studi, kuliah, lalu bisa bekerja, menikah, punya anak. Jangan berpikir begitu rendah, tapi berpikirlah besar untuk menjadi orang-orang besar. Gunakan kesempatan yang ada, sebab mungkin saja ini adalah kesempatan terakhir kita.

Gunakan kesempatan yang ada, sebab mungkin saja ini adalah kesempatan terakhir kita.