Ada suatu tatanan yang Tuhan telah tetapkan bahwa setiap orang memiliki kesempatan. Kita memiliki kesempatan untuk bertumbuh di dalam kekudusan dan kesucian, bertumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan atau membahagiakan Tuhan. Tetapi di aspek lain, Tuhan membatasi kesempatan. Dalam Ibrani 12:16, firman Tuhan mengatakan, “Janganlah ada orang yang menjadi cabul atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau, yang menjual hak kesulungannya untuk sepiring makanan. Sebab kamu tahu, bahwa kemudian, ketika ia hendak menerima berkat itu, ia ditolak, sebab ia tidak beroleh kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya, sekalipun ia mencarinya dengan mencucurkan air mata.” Kesempatan bagi Esau untuk mempertahankan hak kesulungannya telah habis akibat dari kecerobohannya sendiri. Demikian juga kita membaca perumpamaan mengenai lima gadis yang bijaksana dan lima gadis yang bodoh. Kesepuluh gadis tersebut mendapat kesempatan untuk mempersiapkan pelita mereka dan memiliki ruangan, waktu untuk menanti mempelai. Namun, lima gadis bodoh tersebut tidak mempersiapkan minyak, sehingga pada akhirnya mereka ditolak.
Kalau kita mengingat kisah Saul, ada kepedihan dalam hati, dimana pada mulanya Saul adalah seorang yang cakap perawakannya dan memiliki kemampuan dalam berperang—selalu menang dalam peperangan—tetapi akhirnya ia menjadi kecil hati menghadapi Goliat. Dan bukan hanya itu, dia menjadi jahat sehingga ditolak menjadi raja dan digantikan oleh Daud. Setelah melewati perjalanan waktu dan pengalaman dalam hidup, kita menemukan orang-orang yang sudah kehilangan kesempatan. Padahal, mereka adalah orang-orang yang belum tua, tapi sudah begitu rusak, sampai tingkat sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Sejatinya, kalau orang terus-menerus berbuat salah dengan ketegaan yang tinggi, dia tidak bisa diperbaiki. Dia sudah kehilangan kesempatan. Misalnya, orang yang sering menahan miliknya, tidak suka berbagi kepada orang lain, pelit. Sampai tingkat tertentu, dia tidak akan pernah membelah hidupnya untuk orang lain. Hingga akhir hayatnya, dia akan menggenggam hartanya terus, walaupun dia akan melepaskannya.
Kalau kita sudah kehilangan kesempatan, kita tidak akan pernah bisa mengambil kesempatan itu kembali. Sejatinya, setiap kita dirancang Tuhan untuk hal yang baik; menjadi alat di dalam tangan Tuhan. Karena setiap orang Kristen harus menjadi anak yang berkenan dan dirancang untuk dimuliakan bersama Yesus. Namun yang dimuliakan bersama dengan Yesus harus orang yang menderita bersama-sama dengan Dia (Rm. 8:17). Orang yang menderita bersama-sama dengan Tuhan Yesus itulah orang yang menjadi alat di dalam tangan Tuhan.
Tuhan memberi kesempatan kepada setiap kita untuk berkarya bagi Tuhan. Tuhan pasti akan memakai kita sebagai alat-Nya untuk maksud-maksud-Nya. Dalam suratnya kepada Timotius, Paulus mengatakan, “Dalam rumah yang besar bukan hanya terdapat perabot dari emas dan perak, melainkan juga dari kayu dan tanah; yang pertama dipakai untuk maksud yang mulia dan yang terakhir untuk maksud yang kurang mulia” (2Tim. 2). Kita adalah salah satu perkakas-Nya. Memang, ada yang terbuat dari emas, perak, kayu, atau tanah. Tentu kualitas perkakas tersebut tidak ditentukan oleh Tuhan dengan semena-mena; pasti Tuhan melihat respons masing-masing individu. Namun ingat, Tuhan tidak memakai orang sembarangan; Tuhan memakai orang-orang yang layak dipakai-Nya.
Bagi anak-anak muda, kita harus melihat dengan iman bahwa kita memiliki kesempatan besar, kesempatan yang luar biasa ke depan, dan itu adalah sebuah kepastian. Memang, kalau kita tidak percaya Allah itu hidup dan nyata, kita pasti melihat masa depan yang gelap. Bagi kita yang sudah tidak muda lagi, harus disadari bahwa kesempatan yang ada tinggal sedikit. Ironis, jika kita mengingat apa yang telah terjadi, ada kesempatan-kesempatan yang telah berlalu yang kita telah sia-siakan. Mungkin ada penyesalan di hati kita, tetapi kita masih punya waktu yang di dalamnya masih ada kesempatan dan jangan kita menyia-nyiakannya lagi. Dosa sekecil apa pun jangan diizinkan. Jika masih ada kecenderungan-kecenderungan yang tidak kudus, harus dibuang. Supaya, kita bisa menjadi alat di dalam tangan Tuhan yang efektif.
Sekarang, kita semua diperhadapkan pada arena perjuangan. Kita menjadi petinju yang kalah, atau petinju yang menang? Arena itu tidak ditentukan oleh takdir, tetapi ditentukan oleh aksi kita, reaksi kita, respons kita terhadap kehidupan. Tuhan mau kita menjadi saluran berkat Tuhan. Tuhan mau menjamah mereka melalui dan di dalam hidup kita. Allah mencari pipa-pipa, yang melalui pipa-pipa itu Allah mencurahkan kuasa-Nya, Allah mencurahkan berkat-Nya. Pipa-pipa yang bersih sehingga pikiran, perasaan Allah bisa disalurkan. Pipa itu adalah kita. Mari, kita serius memperkarakannya. Karena ada banyak orang tidak peduli dampaknya terhadap pelayanannya. Bahkan, lebih mengerikan kalau orang melayani karena uang, karena hidup, karena nafkah. Baiklah masing-masing kita bertanya, “Tuhan, dampak apa yang sudah diakibatkan oleh hidupku terhadap sesama?” Jika hidup kita belum berdampak baik, maka sekarang waktunya untuk kita berubah, selagi masih ada kesempatan.
Jika hidup kita belum berdampak baik, maka sekarang waktunya untuk kita berubah, selagi masih ada kesempatan.