Skip to content

Kemutlakan

Kalau Tuhan Yesus mengajarkan kita Doa Bapa Kami, “Datanglah Kerajaan-Mu,” berarti kita harus menghadirkan pemerintahan Allah atas hidup kita, dan ini adalah satu kemutlakan; tidak boleh dihindari. Sebab kehidupan tanpa dihadiri pemerintahan Allah berarti pemberontakan. Itu berarti hidup di luar persekutuan dengan Allah, ada di luar otoritas Allah. Jadi, hidup di dalam pemerintahan Allah adalah suatu hal yang benar-benar mutlak. “Datanglah Kerajaan-Mu,” yang kemudian disusul dengan kalimat “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Mari kita jujur melihat hidup kita masing-masing, apakah kita sungguh-sungguh telah menghadirkan pemerintahan Allah tersebut di dalam hidup kita?

Dengan kedatangan Tuhan Yesus Kristus di bumi ini dan kita menerima keselamatan di dalam Dia, maka terbuka kesempatan untuk menghadirkan pemerintahan Allah tersebut. Kalau kita melihat kehidupan bangsa Israel, mereka ada dalam pemerintahan Allah secara komunitas, dipimpin oleh seorang pemimpin; seperti Musa, Yosua, atau hakim-hakim. Tetapi di dalam kehidupan orang Kristen, pemerintahan Allah bisa terjadi atau berlangsung atas setiap kehidupan individu. Inilah visi dan misi dari Allah Bapa yang dibawa dan diemban oleh Tuhan Yesus. Dosa yang memisahkan hubungan antara Allah dan manusia diselesaikan oleh Yesus dengan memikulnya di kayu salib, membayarnya dengan pengurbanan, penderitaan, darah dan kematian-Nya. Sehingga hubungan yang putus antara Allah Bapa dan individu, bisa dipertemukan.

Itulah sebabnya dalam kehidupan orang Kristen, tidak lagi dibutuhkan imam-imam seperti dalam umat Perjanjian Lama, bangsa Israel. Karena setiap orang percaya adalah imamat-imamat, yang bisa berarti hulubalang-hulubalang atau pelayan-pelayan. Kalau di Perjanjian Lama ada imam-imam yang bisa menjadi perantara antara Elohim Yahweh dengan umat, namun di Perjanjian Baru tidak perlu ada. Imam besar kita hanya satu, Tuhan Yesus Kristus, yang menjadi perantara antara kita secara individu dengan Allah. Ini luar biasa. Bayangkan, masyarakat Israel pada Perjanjian Lama, mereka memandang Allah seperti pungguk merindukan bulan. Tidak ada yang bisa menemui Allah, hanya imam besar, itu pun setahun sekali di ruang maha suci. 

Tetapi kedatangan Yesus menyelamatkan kita, dan dapat menghubungkan kembali hubungan antara Allah dan manusia. Dan bisa membuat sebuah interaksi langsung antara Allah dan manusia. Itulah sebabnya Ia disebut Imanuel, Allah beserta kita. Dalam Kejadian 3:8 kita membaca, Allah mengunjungi anak-anak-Nya. Rupanya, Tuhan sebagai sahabat, sebagai Bapa, mengunjungi Adam. Tetapi Adam, yang jatuh dalam dosa, tidak berani berhadapan dengan Allah, ia bersembunyi. Sehingga Allah harus memanggil-manggil Adam, “Di manakah engkau?” Dan setelah itu, Adam dihalau dari taman (dalam teks aslinya, diceraikan). Sejak itu, manusia tidak bisa berinteraksi langsung dengan Allah.

Kedatangan Tuhan Yesus Kristus memberi akses manusia untuk menemui Allah. Sehingga Doa Bapa Kami yang berbunyi, “Datanglah Kerajaan-Mu” dapat berlangsung di dalam hidup kita. Masalahnya, apakah kita telah menghadirkan Kerajaan Allah itu di dalam hidup kita? Kehidupan macam apa itu? Banyak orang Kristen begitu fasih mengucapkan kalimat “Doa Bapa Kami,” namun apakah mereka benar-benar telah mengalami realisasi dari isi “Doa Bapa Kami” itu? Sebab di dalam Doa Bapa Kami ada kabar baik bahwa manusia bisa menjumpai Allah per individu, setiap individu bisa merasakan kehadiran Kerajaan Allah di dalam hidupnya. 

Sadarkah kita bahwa Allah itu melampaui segala sesuatu? Anugerah yang tiada terkatakan, berkat yang tak ternilai, kedahsyatan di atas segala kedahsyatan. Kalau sampai kita diperkenan memiliki akses bertemu dengan Tuhan, bergaul dengan Dia, berjalan dengan Dia, betapa itu luar biasa. Tetapi kita melihat kenyataan bahwa kekristenan telah menjadi tidak lebih seperti agama dengan atribut seremonial, ritual, liturgi. Lalu secara tidak langsung muncul tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pemimpin rohani, yang disebut rohaniwan, yang seakan-akan melalui sosok-sosok itu, umat bisa berhubungan dengan Allah. Seakan-akan sosok-sosok ini adalah orang-orang istimewa yang mendapat tempat khusus untuk menjumpai Tuhan, sedangkan jemaat tidak. Ini merupakan sebuah penyesatan dan sekaligus pembodohan.

Bukan tidak boleh minta didoakan—kita memang harus saling mendoakan—tapi jangan sampai ada kesan bahwa kita tidak memiliki akses langsung bertemu Tuhan. Akhirnya, kita memiliki mental block, tidak mampu berdoa, tidak mampu menjangkau Allah, tidak menyediakan waktu berinteraksi dengan Tuhan. Padahal setiap kita harus independent dari manusia dan dependent terhadap Tuhan. Jangan sampai kita dependent kepada manusia, dan independent terhadap Tuhan. Kita harus bergantung kepada Tuhan, dan tidak bergantung kepada manusia. 

Kita harus menghadirkan pemerintahan Allah atas hidup kita, sebab ini adalah satu kemutlakan.