Kita harus selalu berpikir dan membayangkan adanya kemungkinan kita ditolak oleh Allah. Sebagaimana seorang pelajar yang berpikir ada kemungkinan tidak lulus; maka agar ia tidak mengalami keadaan itu, ia akan semakin rajin belajar. Dalam hal ini, jangan berkata, “Kita kan diajar Tuhan untuk tidak takut dan tidak khawatir. Saya tidak khawatir tidak diterima di surga.” Itu adalah sikap ceroboh. Tuhan berkata, “Jangan takut kepada apa yang dapat membunuh tubuh, tapi tidak berkuasa membunuh jiwamu.” Ada yang ditakuti. “Jangan kamu kuatir akan apa yang kau makan, minum, pakai,” tapi khawatirlah kalau kamu tidak masuk surga. “Takutlah akan Allah yang berkuasa membuang kamu ke neraka.” Ada yang ditakuti, ada yang dikhawatirkan. Kalau yang ditakuti, dikhawatirkan adalah objek-objek tertentu yang fana, kita pasti binasa. Ironis, banyak orang yang lebih takut miskin daripada masuk neraka. Mereka takut miskin, karena takut tidak terhormat; namun, hal masuk neraka mereka tidak peduli.
Orang yang takut akan Allah berani menghadapi apa pun. Akan tetapi kalau terhadap Tuhan ia tidak takut, maka dia akan takut menghadapi banyak bahaya. Ada orang yang takut pergi ke rumah sakit, apalagi ke rumah duka. Tapi dalam kesehariannya, dia menindas orang yang lemah. Maka kita harus membayangkan bahwa kita bisa ditolak, supaya kita takut akan Allah. Dari pergumulan untuk mengetahui apakah diri kita sudah melakukan kehendak Bapa atau belum, maka kita harus berusaha untuk menemukan perjumpaan dengan Tuhan, mendengar Tuhan berbicara. Kalau Allah itu hidup, kita harus berani meyakini Dia bereaksi, Dia merespons kalau kita mempertanyakan sesuatu kepada-Nya. Oleh karenanya, jangan bergantung kepada manusia. Orang harus benar-benar hidup bersih, kebahagiaannya hanya diarahkan pada Tuhan, bukan pada dunia ini, sehingga dia bisa menghayati keberadaan Allah dan mendengar suara Tuhan. Jika dia berbuat suatu hal yang tidak berkenan, damai sejahteranya hilang. Hal ini tentu tidak dapat diajarkan sepenuhnya melalui kata-kata, tetapi harus dialami. Mestinya kita sadar, sekecil apa pun masalah itu, kita tahu ini berkenan atau tidak.
Kita mau memiliki kematian yang bermartabat. Orang yang tidak memiliki kepastian apakah dia diterima atau ditolak oleh Allah, pasti dia tidak memiliki kematian yang bermartabat. Tidak mungkin. Keselamatannya pun sebuah spekulasi. Orang yang memiliki kematian yang bermartabat, orang yang memiliki kepastian dia akan diterima oleh Allah. Kepastian tersebut tidak dibangun dari rumusan doktrin atau pengajaran, tetapi dia peroleh melalui pengalaman hidup ketika dia belajar untuk hidup dalam kesucian hidup yang tidak bercacat, kehidupan yang tidak bercela, dan hatinya tidak terikat dengan dunia ini. Dia akan mengerti kapan dia salah, kapan dia tidak salah. Dia pun tahu apakah dirinya masih terikat dengan kesenangan dunia ini atau tidak. Dari situlah ia memiliki kepastian. Jadi, kesucian hidup itu bukan sesuatu yang gelap atau spekulatif, melainkan sesuatu yang dinikmati dan riil. Apalagi ketika kita memiliki perjumpaan dengan Tuhan, kita bisa merasakan perasaan Tuhan. Bagaimana Tuhan menerima kita waktu kita datang menyembah dengan hati yang bersih, atau kita dengan hati yang kotor dan merasa “ada yang tidak tepat dalam hidupku.” Sebagaimana Tuhan katakan, “kamu tak dapat mengabdi kepada dua tuan.” Kita bisa mengerti posisi kita saat ini bertuankan siapa. Jangan sampai sudah tua, masih punya ambisi, dan belum mengerti kepada siapa kita mengabdi.
Di sini dibutuhkan juga kebenaran yang mencerdaskan pikiran kita. Semua ini berjalan secara simultan atau terus berjalan bersama. Dari kesediaan kita tidak melakukan pelanggaran umum, lalu mulai berkembang ke batiniah, lalu kita juga tentu harus belajar Firman Tuhan. Kita harus punya jam doa untuk merasakan kepekaan, kehadiran Allah, kita akan bisa merasakan perasaan Tuhan. Jadi, kalau sekarang kita masih bingung, hal itu disebabkan karena hidup kita masih keruh. Selama seseorang belum menemukan dengan pasti bahwa dirinya sudah melakukan kehendak Bapa atau tidak, ia harus berjuang untuk mencapai perkenanan Bapa itu. Maka, kita harus nekat. Orang yang memberi diri untuk sungguh-sungguh menemukan dirinya diterima atau ditolak, dan berjuang untuk diterima, Alkitab katakan sebagai “orang yang haus dan lapar akan kebenaran.” Dalam hal ini, Tuhan berjanji akan memuaskan. Bukan memuaskan nanti saja, sekarang inipun dipuaskan. Merupakan sebuah kebahagiaan kalau kita melakukan kehendak Allah. Ini merupakan perjuangan seumur hidup sampai menutup mata. Melakukan kehendak Allah harus menjadi agenda kita satu-satunya agar kematian kita bermartabat.
Kita harus selalu berpikir dan membayangkan adanya kemungkinan kita ditolak oleh Allah, supaya kita takut akan Allah.