Betapa melelahkannya ketika kita hidup dalam ambisi dan motivasi yang salah. Kita tidak mengenal adanya “perhentian dalam Tuhan,” karena daging kita terus mendorong kita untuk mencapai apa yang kita inginkan. Saat kita tidak menyerahkan takhta hati kita kepada Tuhan, maka Iblislah yang mengambil alih. Tidak ada area netral; kita ada di sisi terang, atau di sisi gelap. Kalau si Jahat menjadi majikan dalam hidup kita, kita memang memperoleh “kemerdekaan” untuk berbuat apa saja yang sesuai dengan keinginan hati kita. Seolah-olah, kemerdekaan kita rasakan karena bisa mewujudkan segala hasrat yang kita miliki. Namun, kemerdekaan yang sesungguhnya adalah saat Tuhan yang bertakhta dalam hidup kita. Memang seolah-olah bukan kebebasan yang kita peroleh karena seperti ada “belenggu;” tidak bisa lagi merdeka melakukan segala sesuatu yang diingini, ada pengawasan secara ketat dalam standar yang baru. Ia tidak bisa bebas melangkah setiap saat. Setiap kali melangkah, harus mulai dengan pernyataan, “Jika Tuhan menghendaki ….” Klausa “Jika Tuhan tidak menghendaki …” ini berarti bahwa kita tidak boleh bergerak sembarangan, meskipun merasakan desakan hati yang kuat. Orang yang memberikan takhta hidupnya bagi Tuhan akan berusaha mengenal Dia, mengerti isi hati-Nya untuk dilakukan.
Bagaimana kita dapat mengakhiri hasrat atau keinginan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah? Ada beberapa langkah untuk dapat masuk wilayah itu. Kita harus menyadari bahwa segala keinginan manusia akan berakhir sia-sia. Apa pun yang kita ingini, suatu hari semua itu harus berakhir dan lenyap tiada berbekas. Berbagai keinginan tersebut tidak boleh mengalahkan keinginan satu-satunya yang harus kita miliki, yaitu melakukan kehendak Tuhan. Sebab pada faktanya, keinginan-keinginan manusia pasti menggeser keinginan untuk melakukan kehendak Tuhan. Hal ini membuat manusia menjadi tuhan bagi diri sendiri. Apabila kuat, ia juga bisa menjadi tuhan bagi sesamanya. Akan tetapi, mereka tidak menyadari hal ini, sebab mereka berpikir bahwa memiliki keinginan adalah suatu kewajaran hidup. Bagi umat Perjanjian Lama, mereka dihalalkan memiliki keinginan dari diri sendiri dan memohon Tuhan merestuinya. Tetapi, umat Perjanjian Baru sangatlah berbeda. Bagi umat Perjanjian Baru, mereka dipanggil untuk memuliakan Tuhan dalam dan melalui segala hal. Ini berarti mereka harus hidup untuk kepentingan Tuhan sepenuhnya.
Hidup untuk kepentingan Tuhan berarti memiliki kepekaan untuk mengerti segala sesuatu yang Tuhan inginkan dalam hidupnya untuk dilakukan. Hal ini tidak hanya ditandai dengan jenis kegiatan yang dilakukan. Oleh sebab itu, jangan berpikir kalau seseorang melakukan kegiatan gereja, berarti ia hidup untuk kepentingan-Nya. Mengenai hal ini, terjadi banyak penipuan. Orang tertipu oleh dirinya dan menipu orang lain. Hidup untuk kepentingan Tuhan berangkat dari kepekaan seseorang memahami kehendak Tuhan dalam hidupnya secara pribadi. Sungguh, suatu hal yang sulit dideteksi, apakah seseorang melakukan sesuatu hal bagi Tuhan atau bagi dirinya sendiri. Hanya orang yang dengan murni dan jujur membunuh hasrat atau keinginannya sendiri sajalah yang dapat melayani Tuhan dengan benar. Membunuh keinginan sendiri berarti tidak mengarahkan segala sesuatu yang dilakukan bagi dirinya sendiri. Baginya, segala kepentingan adalah kepentingan Tuhan. Baginya, yang penting perasaan Tuhan dipuaskan. Inilah orang-orang yang sudah mendapat perhentian atau kelegaan (Yun. anapauso; ἀναπαύσω) yang dijanjikan oleh Tuhan Yesus bagi orang yang datang kepada-Nya.
Sebenarnya, inilah yang dicari dan dirindukan oleh umat suatu agama besar, bahwa mereka merindukan suatu level keheningan dimana semua keinginan melebur masuk dalam ketiadaan. Hanya bedanya dengan kita adalah kita meleburkan semua keinginan kepada suatu kehendak, yaitu kehendak Allah. Keheningan yang kita miliki bukanlah keheningan di dalam rumah biara atau gua sepi di tengah hutan, melainkan di tengah-tengah hiruk pikuk manusia. Kesederhanaan kita bukanlah ditandai pada keadaan jasmani, melainkan di dalam batin. Secara jasmaniah, kita tetap terlihat sama dengan orang pada umumnya; tetap mencari nafkah, hidup berdampingan dalam masyarakat majemuk, memakai pakaian yang pantas, dan memiliki fasilitas yang dibutuhkan. Akan tetapi, secara batiniah, sikap hati kita sama sekali berbeda. Hati kita telah mendapat perhentian dalam Tuhan. Seluruh gerak dan keputusan kita dilatarbelakangi oleh apa yang Tuhan kehendaki. Tidak ada bagian hidup yang kita sisakan bagi diri kita sendiri. Motif kehidupan kita semata-mata terarah pada apa yang menyenangkan dan memuaskan Bapa, sehingga seluruh rencana-Nya dapat digenapi. Inilah yang disebut sebagai perhentian dalam Tuhan atau kemerdekaan dalam-Nya.
Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah saat Tuhan yang bertakhta dalam hidup kita.