Tuhan Yesus berkata, “Aku datang untuk memberi hidup, supaya mereka memiliki hidup itu dalam segala kelimpahan.” Sejak remaja, muda, dewasa muda, dan tua seperti hari ini, mungkin kita sudah berulang-ulang mendengar ayat itu. Sampai satu titik kita mempersoalkan di mana kelimpahan tersebut, apa bentuk kelimpahan tersebut, siapa orang yang pernah memiliki kelimpahan tersebut. Kalau di gereja, tentu kita mencari orang yang mengalami, memperoleh kelimpahan itu dan kita bisa mencontoh dan bertanya, bagaimana memiliki kelimpahan tersebut. Kita melihat bahwa ayat itu sering hanya menjadi teori yang mengisi pikiran.
Bagi mereka yang menganut Teologi Kemakmuran dan sebagian besar orang Kristen, mereka memercayai bahwa kelimpahan tersebut artinya di dalam hidup di bumi ini tidak berkekurangan. Paling tidak, pas; tidak kurang. Lalu kalau meninggal dunia, masuk surga. Sebenarnya itu kacau, tidak jelas. Namun, setelah melalui pengembaraan panjang, pergumulan hidup, akhirnya kita memahami bahwa kelimpahan itu hanya dialami oleh orang yang bisa mendengar suara Tuhan. Kalau kita membaca Yohanes 10:10 dikatakan, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Kata ‘hidup’ dalam ayat ini menggunakan kata zoe; sedangkan kata ‘kelimpahan’ berasal dari kata perisson atau perisos, yang artinya sangat tinggi kualitasnya; very high in quality; bukan dalam kuantitas.
Ayat 10 tidak bisa dipisahkan dari ayat sebelumnya, ayat ke-4, “Jika semua domba-Nya telah dibawanya keluar, Ia berjalan di depan mereka dan domba-domba itu mengikuti Dia.” Mengikuti Dia, karena mereka mengenal suara Gembala itu. “Tetapi orang asing pasti tidak mereka ikuti, malah mereka lari daripadanya, karena suara orang-orang asing itu tidak mereka kenal.” Kita perlu bertanya kepada diri kita masing-masing, selama ini kita mengikut siapa? Suara siapa yang kita dengar? Banyak orang Kristen, termasuk kita, pernah sesat. Atau sekarang banyak orang Kristen yang masih sesat. Kalau menjadi Kristen, sudah ke gereja apalagi aktif dalam pelayanan, terlebih lagi menjadi pendeta, mereka merasa sudah mengikut Tuhan. Apalagi kalau dulu dari agama lain lalu menjadi Kristen, sebelumnya hidup dalam pelanggaran moral lalu jadi orang baik, maka ia merasa sudah mengikut Tuhan.
Padahal, mengikut Tuhan Yesus tidaklah sesederhana itu. Mengikut Tuhan berarti mengikut jejak-Nya. Supaya kita bisa mengikut jejak-Nya, berarti harus mendengar suara-Nya. Tuhan Yesus tetap bersuara di dalam diri kita melalui Roh Kudus. Tuhan Yesus sendiri yang mengatakan bahwa Ia akan mengutus Roh Kudus, yang akan mengajarkan segala sesuatu kepada kita. Roh Kudus yang disebut Parakletos. Janji Tuhan itu dipenuhi dengan hadirnya Parakletos, bukan perikletos; “Apabila Ia datang, yaitu roh kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran. Sebab Dia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya, dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.”
Roh Kudus pasti berbicara kepada kita, tetapi dalam kegaduhan hidup ini, kita sering tidak mendengar suara itu. Hal yang paling membuat para teolog tidak mendengar suara-Nya adalah ilmu teologi. Teologi tidak salah, tetapi kalau teologi tanpa Roh Kudus, itu membuat telinga kita jadi tuli. Karena mengandalkan pikiran berdasarkan format-format teologi. Semakin cakap berteologi, semakin tidak mendengar suara Roh Kudus karena semua diformatkan dalam penalaran sistematika pikiran. Jadi, kita harus memberi ruangan seluas-luasnya untuk berkomunikasi dengan Roh Kudus. Ini tidak bisa lewat bangku sekolah, tidak bisa lewat literatur. Karena ini bersifat supranatural. Memang subjektif dan adikodrati.
Kalau Alkitab mengatakan, “Yesus pagi-pagi bangun lalu berdoa,” pasti bukan 5 menit. Juga dikatakan, “Semalam-malaman,” itu tentu bukan 10 menit. Bagaimana dengan kita? Berapa lama kita dapat duduk diam di kaki Tuhan? Makanya tidak heran banyak orang Kristen—termasuk pendeta—tidak sanggup duduk diam karena mereka telah menggantikan perjumpaan dengan Tuhan untuk mendengar suara Tuhan dengan pengetahuan. Bukan pengetahuan yang salah, kita harus punya pengetahuan, tetapi tanpa pimpinan Roh Kudus, percuma. Bahkan ekstremnya, orang tidak memiliki pengetahuan secara akademis, tetapi dia berjalan dengan Roh Kudus, pasti dia cakap. Biasanya orang yang betul-betul mencari kebenaran, akan dipertemukan orang yang mengerti teologi yang benar, yang juga memiliki keseimbangan.
Kelimpahan bisa dialami seseorang kalau dia mengikut Tuhan. Kita harus memahami bahwa ikut Tuhan itu tidak cukup menjadi orang Kristen, menjadi aktivis, bahkan menjadi pendeta. Belum cukup. Ingatlah, setiap individu itu punya pengalaman yang berbeda dalam mengikut Tuhan. Karena setiap orang memiliki keberadaan yang berbeda; latar belakang keluarga, latar belakang suku, latar belakang tempat, lalu situasi hidup personalitinya atau kepribadiannya, berbeda. Namun, Roh Kudus akan menuntun orang tersebut bagaimana hidup seperti yang dijalani oleh Yesus ketika Ia ada di bumi.
Kelimpahan bisa dialami seseorang kalau dia mengikut Tuhan.