Tuhan Yesus berkata di Yohanes 14:1-3, “Percayalah pada-Ku. Di Rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal.” Namun, banyak orang Kristen yang tidak tertarik dengan rumah tinggal itu. Mereka tidak mengerti bahwa kekayaan dunia itu sementara. Ngengat dan karat bisa merusak, pencuri bisa mencuri dan membongkarnya. Ironisnya, mereka merasa bahwa harta dunia itu membahagiakan. Lebih bernilai dari apa pun. Sedangkan kekayaan di balik langit biru, tidak jelas, tidak meyakinkan, sehingga tidak tertarik dengan apa yang Allah janjikan di langit baru bumi baru. Banyak orang Kristen yang tidak bertumbuh dalam keyakinannya terhadap Allah, sehingga tidak mau menuruti apa yang Tuhan kehendaki.
Allah menghendaki kita hidup dalam kekudusan dan kesucian, tetapi dengan banyak alasan, orang tidak mau menjalaninya. Banyak orang Kristen berkata, “Hal itu tidak mungkin. Itu mustahil. Itu berat. Jangan sekarang, nanti saja. Saya tidak bisa. Situasiku memaksaku untuk tidak bisa hidup kudus,” atau apa pun alasannya. Maka, minat kita dengan minat Allah, tidak bertemu atau tersambung. Apalagi anak-anak muda. Mungkin mereka merasa belum waktunya bicara soal kekekalan, soal surga. Apalagi kalau mereka mendengar suara Iblis yang dengan licik mengatakan, “Belum waktunya bicara soal kekekalan, soal surga,” maka pasti mereka menunda hidup kudus.
Padahal menunda hidup kudus itu akan sangat merugikan. Karena setiap fase usia, seseorang harus mencapai kesucian dalam tingkat-tingkat tertentu. Ada semacam kuota yang harus dipenuhi. Dengan menunda, maka pada waktunya kita tidak bisa mengejarnya. Banyak orang anggap sepele hal ini. Mari kita mengejar ketinggalan sebelum waktu kita usai, habis. Allah mau memberikan kasih-Nya dan setiap hari Allah menerjemahkan, mengekspresikan kasih-Nya dalam pemberian-pemberian. Namun, jika setiap momentum yang Allah sediakan, kita gantikan dengan hal lain, kita kehilangan berkat kekal. Padahal, Allah memberikan berkat-Nya tanpa batas.
Kita harus selalu bertanya, “Apa yang harus aku dengar, Tuhan? Apa yang harus aku pahami? Apa yang harus aku lakukan, Tuhan? Itu pun Bapa masih tanya, “Kamu serius?” Kadang-kadang yang kita ucapkan, tidak sama dengan hati ini. Kalau jujur, kita kurang serius sebenarnya. Ada basa-basi, ada unsur retorika doa di situ. Petunjuk Tuhan adalah berkat kekal-Nya. Ingat, kita punya kesempatan terbatas untuk memiliki Dia, artinya untuk belajar mengenal Dia, memahami kehendak-Nya untuk kita lakukan. Penghayatan betapa berharganya Allah dalam hidup kita, sampai kita bisa mengerti bahwa Dia lebih dari nafas dan darah di tubuh kita.
Hal itu sebuah realitas. Artinya, perasaan kita benar-benar menghayati hal itu. Jika kita sampai pada penghayatan ini, kita baru bisa merasakan kebaikan Tuhan atau kasih Tuhan yang dicurahkan kepada kita. Kita baru bisa mengerti betapa berharganya setiap kebenaran yang kita pahami, betapa berharganya hadirat Allah yang kita alami pada waktu kita berdoa. Kita harus merasa membutuhkan Tuhan, karena kesempatan mengenal Allah itu terbatas. Tuhan sendiri yang bicara, “Carilah Aku selama Aku berkenan ditemui.” Jadi, ada saat di mana Allah tidak dapat ditemui. Selagi Tuhan masih memberi kesempatan untuk ditemui, kita menemui Dia.
Mungkin kita pernah berdoa satu jam, satu hari, seminggu, dua minggu, seakan-akan Allah tidak ada. Jangan kita menjadi tawar hati. Duduk diam, terus berdoa. Jadi kalau kita berkata, “Bapa kami yang di surga,” kita yakin Dia langsung mendengar. Dia tidak berkhianat kepada kita. Dia setia. Jadi, jangan mendengar fitnah dari manusia lama kita: “Dia tidak mendengar” atau “Ini bukan waktunya. Tunda saja, nanti.” Setan itu banyak alasan membuat kita berhenti berdoa, tetapi kita berdoa terus. Dia tidak pernah menolak. Dia mau melihat keseriusan kita. Sebab standar untuk Allah adalah segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi, segenap kekuatan. Dia mengasihi kita. Dia mau mencurahkan kasih-Nya tanpa batas dan tiada henti.
Namun, apakah kita mengerti kasih-Nya? Apakah kita mengenal Dia? Jangan kepentingan kita tidak sama dengan kepentingan-Nya. Kalau kepentingan kita berbeda, Allah tidak tahu bagaimana mencurahkan kasih-Nya. Orang sibuk melihat roti jasmani, tetapi tidak melihat roti rohani. Maka Tuhan ingatkan, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Semakin kita mengumpulkan harta di surga, yaitu hidup dalam kekudusan dan kesucian, semakin kita memindahkan hati di Kerajaan Surga. Tetapi masalahnya, apakah kita mendahulukan Kerajaan Surga?
Berkat kekal Allah tercurah bagi kita, tetapi tergantung seberapa kita mengasihi Tuhan. Kalau kita tidak mengasihi Allah, kita tidak menghormati Dia, kita tidak takut akan Dia, artinya kita tidak layak. Setiap kita belum sempurna, tetapi kita bisa membakar hati kita untuk mencintai Tuhan. Tidak ada orang yang bisa melarang kita untuk mencintai Tuhan. Hati yang tulus pasti akan direspons Tuhan. Jangan menunggu kita sempurna. Asal kita sungguh-sungguh mau mengasihi Tuhan, Tuhan merespons. Jangan takut, Dia di pihak kita.
Jika setiap momentum yang Allah sediakan, kita gantikan dengan hal lain, kita kehilangan berkat kekal.