Salah satu ciri yang dapat terjadi dalam kehidupan orang percaya yang mengalami kemerdekaan dalam Tuhan adalah berubahnya perspektif atau mindset terhadap materi dan harta kekayaan. Kalau manusia lain (orang duniawi) pada umumnya mengejar harta, berusaha memilikinya sebanyak mungkin, menumpuk kekayaan demi kepuasan dan kebahagiaan dirinya, orang percaya tidaklah demikian. Orang percaya yang sungguh-sungguh merdeka dalam Tuhan akan kehilangan motivasi memperkaya diri demi kepentingan dan kebahagiaan dirinya. Jadi, jika kebanyakan orang hidupnya “dikendalikan” oleh ambisi dalam mencari uang, memperkaya diri agar bisa bersenang-senang dalam hidup, orang percaya tidak dalam dorongan yang sifatnya mengendalikan seperti itu. Orang yang merdeka dalam Tuhan biasanya selalu mensyukuri berkat materi apa pun yang dia dapatkan, tanpa melihat berapa banyak atau besarnya dari nilai yang diperoleh. Standarnya sudah berbeda; bukan berapa banyak dan berapa besar, melainkan makna berkat tersebut diberikan. Hidupnya tidak lagi “kelelahan” karena mencari uang atau mengumpulkan harta di bumi.
Inilah yang diteladankan oleh Tuhan kita, Yesus Kristus. Dalam suatu pernyataan-Nya, Yesus mengemukakan, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” Ini merupakan sebuah pernyataan yang menunjukkan kemiskinan-Nya yang sangat ekstrem. Dari hal ini, tampaklah bahwa Yesus rela kehilangan hak untuk menikmati kekayaan materi yang sebenarnya adalah milik-Nya sendiri. Pernyataan Tuhan Yesus ini juga menunjukkan bahwa kehidupannya dalam dunia ini adalah sebuah perjuangan untuk melakukan suatu tugas, bukan untuk bersantai-santai. Untuk tugas ini, Ia rela mempertaruhkan segalanya. Itulah sebabnya dalam Yohanes 9:4 Tuhan mengatakan: “Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa semasa hidup-Nya di bumi, Tuhan sungguh memaksimalkan segala kesempatan yang ada untuk menunaikan pekerjaan Bapa.
Paulus dalam tulisannya mengatakan, “Karena kamu telah mengenal kasih karunia Tuhan kita Yesus Kristus, bahwa Ia, yang oleh karena kamu menjadi miskin, sekalipun Ia kaya, supaya kamu menjadi kaya oleh karena kemiskinan-Nya.” Kata “kemiskinan” dalam teks ini adalah eptocheusen (ἐπτώχευσεν), yang berarti become poor (menjadi miskin). Kata ini berasal dari kata ptocheuo (πτωχεύω) yang memiliki pengertian to be a beggar (seperti pengemis, karena sangat miskin), to become indigent (orang yang tidak memiliki kekayaan). Semua yang dikemukakan ini menunjukkan ketidakberdayaan-Nya secara materi atau kemiskinan-Nya secara materi. Kalau Tuhan yang kaya rela menjadi miskin, tentu kita harus rela tidak “ingin kaya,” sebab keinginan kaya berarti percintaan dengan dunia yang berarti menjadikan diri seseorang sebagai musuh Allah. Seluruh usaha kita untuk memperoleh kekayaan materi harus digunakan untuk kemuliaan-Nya.
Bagian dari keteladanan yang ditampilkan Yesus dalam kisah penyaliban itu juga berbicara bagaimana seorang hamba Tuhan rela melepaskan kesenangan demi pelayanan bagi Tuhan. Paulus pernah berkata kepada anak rohaninya Timotius, “Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.” Implikasi ayat ini menyuarakan panggilan terhadap seluruh anak-anak Tuhan untuk tidak membiarkan dirinya terbuai oleh berbagai kesenangan pribadi lebih dari kecintaannya terhadap pelayanan bagi Tuhan. Ayat tersebut paralel dengan nasihat Paulus kepada jemaat Korintus: “Saudara-saudara, inilah yang kumaksudkan, yaitu: waktu telah singkat! Karena itu dalam waktu yang masih sisa ini orang-orang yang beristeri harus berlaku seolah-olah mereka tidak beristeri; dan orang-orang yang menangis seolah-olah tidak menangis; dan orang-orang yang bergembira seolah-olah tidak bergembira; dan orang-orang yang membeli seolah-olah tidak memiliki apa yang mereka beli; pendeknya orang-orang yang mempergunakan barang-barang duniawi seolah-olah sama sekali tidak mempergunakannya. Sebab dunia seperti yang kita kenal sekarang akan berlalu.” Paulus tidak melarang orang mendapatkan berbagai fasilitas hidup, melainkan ia mengajak atau menganjurkan agar orang tidak menginginkan lebih dari apa yang ia butuhkan. Ia membuktikan kebenaran pernyataan-pernyataan di dalam suratnya dan di dalam hidupnya, sampai ia menghadapi martirnya di Roma. Ia bukan hanya bisa berbicara, tetapi juga melakukannya sebagai teladan hidup.
Paulus sebagai pengikut Yesus, juga memiliki pola pelayanan yang sama dengan Tuannya. Dalam kesaksiannya ia berkata, “Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku … bahwa penjara dan sengsara menunggu aku. Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikit pun … Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapa pun juga. Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku.” Pola hidup seperti Paulus inilah yang menjadi standar pelayanan pemimpin rohani sepanjang zaman, yang pada dasarnya mengacu pada pelayanan Yesus Kristus. Sebuah pelayanan yang rela untuk tidak menikmati kesenangan hidup.
Orang percaya yang sungguh-sungguh merdeka dalam Tuhan akan kehilangan motivasi memperkaya diri demi kepentingan dan kebahagiaan dirinya.