Umat Perjanjian Lama memiliki kesibukan hidup, yang fokusnya hanya makan-minum, negeri yang jaya dan makmur. Tetapi bagi umat Perjanjian Baru, negerinya adalah langit baru bumi baru. Asal ada makanan, pakaian, cukup. Orientasinya benar-benar rohani. Umat Perjanjian Lama, hukumnya 10 Perintah Allah; Dekalog. Tetapi kita, hukumnya Tuhan sendiri; perasaan Tuhan, pikiran Tuhan. Makanya kita harus memiliki pikiran dan perasaan Allah.
Banyak orang Kristen yang masih hidup dalam suasana Perjanjian Lama, seperti bangsa Israel. Tidak heran, banyak khotbah yang dikutip dari Perjanjian Lama, seakan-akan kita bisa berimitasi dengan umat Perjanjian Lama. Kita bisa mengambil banyak pelajaran rohani dari umat Perjanjian Lama, tetapi puncak, pusat, episentrumnya yaitu Perjanjian Baru. Kemudian akan terarah pada diri Yesus sebagai teladan dan tujuan hidup kita. Serupa dengan Yesus itu bukan karunia, melainkan perjuangan.
Banyak orang Kristen bisa diibaratkan seperti kontraktor yang jahat. Seorang kontraktor yang jahat, menerima uang pembayaran untuk membangun suatu rumah atau gedung tetapi tidak mengerjakan tugasnya. Yesus sudah mati di kayu salib, kita diberi Roh Kudus, dosa kita diampuni, kita telah ditebus. Ini bisa dianggap sebagai modal untuk menjadi serupa Yesus, tetapi kita tidak mengerjakan apa-apa. Sebenarnya Tuhan membekali kita dengan kuasa dan pengampunan dosa. Itu mahal sekali harganya.
Maka adalah jahat jika Roh Kudus dimeteraikan dalam diri kita dan Yesus mengajarkan Injil, namun kita tidak menggunakan semua itu untuk membangun diri. Seperti kontraktor yang jahat tadi, kita menerima semua anugerah itu tetapi tidak mengerjakan bagian kita. Tuhan Yesus telah memberikan modal kepada kita semua: penebusan, Roh Kudus, dan firman. Lalu apa dampaknya untuk kita? Kita berlatih tidak untuk serupa Yesus?
Kalau menjadi orang beragama seperti agama Yahudi, tidak perlu perjuangan. Kalaupun ada perjuangan, tidak terlalu berat. Kalau terlahir dari keluarga Yahudi, dari kecil sudah tertata untuk hidup menurut hukum, dan terjadi secara natural. Mereka bisa menyuruh orang-orang saleh dalam standar hukum. Tetapi orang Kristen atau terlahir sebagai orang Kristen, tidak natural bisa menjadi orang Kristen karena setiap individu harus berjuang untuk serupa dengan Yesus, lalu harus menaklukkan kodrat dosa dalam dirinya.
Umat pilihan Perjanjian Lama, fokusnya itu separuh kehidupan di dunia, lalu separuh nanti tidak jelas. Mereka tentu tidak ingin masuk neraka, tetapi tidak diajarkan bagaimana langit baru bumi baru karena negeri mereka itu Kanaan duniawi. Umat Perjanjian Lama diatur oleh hukum Taurat. Dasa titah; Dekalog; atau Aseret Hadevarim; 10 Perintah Allah, tetapi kita diatur oleh Roh Kudus. Hukum kita yaitu kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan, dan yang sempurna.
Kalau seorang anak terlahir dari keluarga Yahudi atau dibesarkan dalam lingkungan orang beragama Yahudi, secara natural mereka tertata bermoral Yahudi, bermoral hukum Allah sesuai dengan Dekalog. Orang Kristen, tidak bisa. Dia harus memerangi kodrat dosa. Kodrat dosa itu masih bisa diatur oleh hukum. Hukum masih bisa membuat orang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzina, tidak melawan orangtua. Hukum bisa mengatur itu. Tetapi kalau mengerti pikiran, perasaan Allah, itu tidak bisa diatur secara natural.
Setiap individu harus berjuang dan harus membiasakan diri. Dari kecil memasuki masa remaja, memasuki masa pemuda, harus berlatih. Sampai akhirnya benar-benar mengalami perubahan kodrat. Oleh sebab itu, bagi orang Kristen berlaku: “kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Tidak salah kalau jadi kaya. Idealnya, kalau Tuhan berkenan kita jadi kaya, supaya kita bisa menolong orang, memikul pekerjaan Tuhan. Tetapi kaya bukan sebagai tujuan. “Asal ada makanan, pakaian, cukup. Pikirkan perkara yang di atas, bukan yang di bumi.”
Jadi, kita harus tahu, negeri kita yaitu langit baru bumi baru. Yang penting kita bisa melewati hari, sampai kita menutup mata. Sementara melewati hari, kita belajar untuk mengalami proses perubahan agar kita mengenakan kodrat ilahi. Gereja bertanggung jawab untuk proses ini. Tujuannya bukan sekadar yang sakit sembuh, yang ekonominya berantakan dipulihkan. Tidak salah melakukan hal itu, tetapi itu bukan tujuan. Jangan diselewengkan, dan jangan sampai meleset.
Kadang-kadang atau sering kita tidak dengar-dengaran kepada Tuhan, sehingga kita menjadi tidak layak diberkati dan disertai karena kita menyakiti hati Tuhan. Karenanya, sekarang, kita berhenti dari perbuatan-perbuatan yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Kita berlatih untuk hidup suci. Dengan kita merajut kesucian, yang memang pada mulanya berat, tetapi nanti kita bisa. Kalau sudah makin mencapai kesucian yang lebih tinggi, seandainya kita sampai berbuat salah—sekecil apa pun kesalahan itu—kita akan kehilangan damai sejahtera.
Kalau sudah makin mencapai kesucian yang lebih tinggi, maka seandainya kita sampai berbuat salah—sekecil apa pun kesalahan itu kita akan kehilangan damai sejahtera.