Skip to content

Kehausan Akan Allah

Kalau kita mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa mengisi kekosongan jiwa, hanya Tuhan yang bisa menjadi kebahagiaan hidup satu-satunya, kita menjadi kekasih Tuhan. Kalau kita menjadi kekasih Tuhan, kita tidak usah minta perlindungan Tuhan, karena Tuhan pasti sudah melindungi kita. Tidak usah minta berkat Tuhan, karena Tuhan tahu apa yang kita perlukan. Ini akan membuat kehausan jiwa kita makin merekah, dan Tuhan akan menjawab kehausan itu. Kalau kita sekarang ada dalam pergumulan tertentu dan rasanya Tuhan tidak memedulikan, tidak menjawab, tidak menolong, seakan-akan Tuhan tidak membela, jangan kecewa. 

Persoalan masih ada, tetapi jawaban yang kita butuhkan bukanlah jalan keluar dari persoalan itu. Yang kita butuhkan adalah Tuhan sendiri yang mengisi kekosongan jiwa kita. Kalau kita berkata, “kuperlu Kau, Tuhan,” bukan karena membutuhkan uang, pembelaan Tuhan atau karena mau sembuh, tetapi karena kita membutuhkan Pribadi-Nya. Semakin kita bisa meninggalkan ikatan dengan dunia ini, semakin kita merasakan kehausan akan Allah. Sebagaimana pemazmur mengatakan, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selamanya,” artinya walaupun pada kenyataannya keadaanku tidak baik, tetapi aku menikmati Tuhan sebagai kebahagiaanku. Ini akan menjadi kekuatan, dan kita akan menjadi orang yang unggul. 

Kita pasti punya persoalan yang kadang membuat kita merasa tertekan, menjadi sulit tidur, stres. Tetapi, Tuhan mengajar kita untuk bisa menjadikan Tuhan sebagai kesukaan, kebahagiaan di tengah-tengah situasi itu. Kalau tidak ada keadaan yang sulit, tidak ada pergumulan, kita belum teruji. Justru di tengah-tengah keadaan yang sulit, kita tetap menikmati Tuhan dan menjadikan Dia segalanya di dalam hidup kita, maka kita menjadi manusia unggul. Kalau kita sampai pada tingkat yang lebih dewasa, kita membawa persoalan kita kepada Tuhan tanpa mengatur Tuhan. Sampai kita bisa berkata, “Ini persoalanku, Tuhan. Berat menghadapi ini dan itu. Kebutuhan ini dan itu, aku serahkan dalam tangan-Mu. Apa jadinya nanti, terserah Engkau, Tuhan. Aku hanya mau Engkau menjadi kesukaan dan kebahagiaanku.” Ini luar biasa. 

Selama seseorang belum sampai pada kehausan yang kudus seperti ini, dia akan mencari pelabuhan di mana dia mendapatkan perhentian. Kita mau mendapatkan perhentian hanya di dalam Tuhan saja. Kita tahu bahwa Tuhan yang hidup, Tuhan yang pasti akan kita alami secara riil. Sebagaimana kita punya orangtua, saudara, atau sahabat, kita bisa berinteraksi dengan mereka, kita juga bisa berinteraksi dengan Tuhan. Kita bisa mengalami Tuhan itu hidup, nyata. 

Kita memerlukan Tuhan karena Tuhan sendiri, Pribadi-Nya. Kita tidak mau akal-akalan, merasa perlu Tuhan padahal yang kita butuhkan bukan Tuhan, tetapi hanya berkat-Nya, kuasa-Nya. Kalau kita punya masalah, kita tergoda untuk bisa lepas dari masalah itu, dan kita membayangkan kalau masalah berlalu, “betapa senangnya aku.” Itu berarti kita memberhalakan masalah, seakan-akan masalah itu menjadi penghalang kebahagiaan kita. Kebahagiaan kita bukan karena masalah kita diangkat atau bukan karena kita tidak punya masalah. Kebahagiaan kita itu karena Tuhan; Tuhan saja. Kita harus fanatik dalam hal ini. Tuhan tahu kita benar-benar membutuhkan Dia secara pribadi dan menjadikan Dia kebahagiaan kita, atau kita hanya mau memanfaatkan kuasa-Nya. 

Orang yang haus akan Allah akan mencintai Allah, karena Allahlah objek cinta satu-satunya. Tidak ada yang dapat membahagiakan dirinya kecuali Allah. Inilah yang mestinya kita bangun. Mengapa tidak bisa? Karena kita tidak melepaskan diri dari ikatan percintaan dunia. Coba kita belajar seperti pemazmur, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.” Maka, jangan merasa malang kalau kita tidak punya pasangan atau pasangan mengkhianati kita. Jangan merasa malang karena tidak punya keturunan atau tidak punya apa-apa dan siapa-siapa. Orang malang adalah orang yang tidak punya Tuhan. Seseorang boleh punya pasangan yang baik, anak-anak yang sukses, harta yang melimpah, apa pun, namun tanpa melekat dengan Tuhan, semua sia-sia belaka. Kita harus memiliki hanya satu: Tuhan. Dia menjadi harta kita, kekayaan kita, kemuliaan kita. Ini yang menjadi kesukaan hidup kita. 

Kita harus seekstrem-ekstremnya, sefanatik-fanatiknya dengan Tuhan. Kita harus mencari wajah-Nya lewat doa pribadi, doa bersama. Tuhan harus menjadi satu-satunya ruangan hidup kita. Satu-satunya dunia kita, sampai kita benar-benar bisa merasakan adanya kehausan yang kudus, kehausan yang benar, kehausan kekal. Bahwa hanya Tuhan yang bisa menjawab kebutuhan ini. Nanti di kekekalan ada orang yang akan menderita, seperti orang kaya di Lukas 16 yang merasa haus; bukan haus air mineral, tetapi haus akan Allah. Tetapi sayang sekali, ia tidak punya kesempatan lagi sehingga ia terbuang dari hadirat Allah; celaka selamanya. Maka sebelum kesempatan itu hilang, mari kita mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. 

Semakin kita bisa meninggalkan ikatan dengan dunia ini, semakin kita merasakan kehausan akan Allah.