Skip to content

Kegagalan

Manusia hidup membutuhkan makan dan minum, itu mutlak. Tuhan pun kebutuhan mutlak. Jadi, kalau sampai orang tidak merasa lapar dan haus akan Tuhan, maka ia bukan manusia normal dan bukan manusia sehat. Tetapi, karena standar manusia pada umumnya tidak mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh, Tuhan tidak dipandang sebagai “segalanya,” sehingga standar yang benar telah mengalami kemerosotan. Maka, jarang orang yang sungguh-sungguh memiliki lapar dan haus yang benar akan Tuhan. Dan kalau ada orang yang memiliki lapar dan haus akan Tuhan secara proporsional, maka dipandang aneh, fanatik, ekstrem. Dan banyak orang, tidak mau dipandang ekstrem; “Wajar-wajar sajalah.” Apalagi kalau orang itu hidup dalam serba kecukupan, maka Tuhan bisa tidak dibutuhkan. 

Memang kadang-kadang Tuhan bisa mengizinkan kita berada dalam situasi sulit di mana seakan-akan tidak ada jalan keluar, semua pintu tertutup, kita tidak berdaya untuk menghadapi masalah itu, atau menyelesaikannya. Tuhan mengizinkan supaya kita berpaling ke Tuhan. Entah sakit parah, sekarat di ujung maut, jatuh miskin dan lain sebagainya, baru mencari Tuhan. Tetapi sebenarnya, bukan Tuhan yang menjadi tujuannya. Tuhan hanya dijadikan alat, sedangkan tujuannya adalah penyelesaian dari masalah-masalah yang dihadapi. Dalam kasih dan kesabaran-Nya, hal itu tetap bisa menjadi sarana Tuhan untuk menarik manusia datang kepada-Nya. 

Kalau kita mengajak orang ke gereja, pakai iming-iming, maka ketika apa yang dia harapkan terpenuhi—misalnya jodoh—maka berhenti dia mencari Tuhan. Memang, ia bisa saja ke gereja lalu dapat jodoh, namun ternyata bukan karena Tuhan. Kuasa kegelapan juga bisa ada di dalam gereja. Jangan kita pikir di dalam gereja itu tidak ada kuasa gelapnya, bisa ada. Atau masalah ekonomi, bangkrut. Lalu setelah didoakan, dipulihkan ekonominya. Dia bersaksi, “Allah itu ajaib, luar biasa. Dia memulihkan ekonomi saya. Sekarang saya ke gereja, hidup baru dalam Tuhan.” Apa standar hidup barunya? Dan sering kali gereja yang tidak mengerti kebenaran, menstempel itu sebagai kebenaran. Ironis. 

Maka, kalau kita percaya ada Entitas yang menciptakan langit dan bumi, memiliki segala kuasa, kemuliaan, dan kerajaan, yang kepada-Nya kita akan memperharapkan diri untuk dihakimi dan menentukan kita diperkenankan masuk dunia akan datang atau tidak, kita pasti menjadikan Dia segalanya. Sehingga kita bisa berkata, “Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selamanya. Siapa gerangan ada padaku di surga selain Engkau? Selain Engkau, tidak ada yang kuingini di bumi.” 

Ingat! Yang kita butuhkan hanya satu: Tuhan. Mungkin hari ini kita tidak punya persoalan, namun ketahuilah, dunia ini tidak jelas apa yang akan terjadi di depan. Kita tidak tahu. Tuhan itu harus menjadi segalanya dalam hidup kita. Bukan sekadar supaya nanti kita bisa menghadapi situasi chaos karena ekonomi atau karena bencana atau karena perang. Bukan sekadar itu. Karena memang hanya Dia yang kita butuhkan, Tuhan. Hanya Dia segalanya dalam hidup ini. 

Maka, camkan ini. Untuk memiliki lapar dan haus akan kebenaran, itu tidak mudah. Pengaruh dunia telah begitu jahat merusak selera jiwa kita, selera hidup kita. Sebenarnya Tuhan menciptakan manusia dengan rongga kosong yang tidak bisa diisi oleh siapa pun dan apa pun, kecuali Tuhan. Hal ini sudah pasti, sudah mutlak. Manusia telah dikunci dengan keadaan ini. Tidak mungkin tidak. Jika manusia bisa hidup tanpa Tuhan, maka manusia tidak akan pernah bisa menghormati Tuhan secara patut

Tidak mudah untuk memiliki kehausan dan kelaparan yang benar seperti ini, karena manusia sudah jatuh dalam dosa. Kita mewarisi gen manusia yang sudah rusak. Belum lagi pengaruh dunia sekitar kita. Setiap kita punya personality atau kepribadian yang berbeda. Tetapi bagaimana Roh Kudus menggarap setiap individu dengan kepribadian yang berbeda-beda menjadi sosok pribadi yang agung, dan itu hanya Roh Kudus yang bisa mengerjakan. Bagaimana Tuhan mendesain peristiwa-peristiwa hidup yang membuat kita menjadi seperti Kristus. Yang akhirnya, Kristus hidup dalam diri kita. 

Kalau agama-agama tertentu, mereka mengosongkan diri dalam ketiadaan, mencapai ketiadaan. Kalau kita tidak mengosongkan diri untuk masuk ketiadaan, tetapi kita harus mengosongkan diri untuk dihuni Kristus di dalam diri kita. Tetapi terkait dengan hal ini, kita pasti diberi kemampuan untuk memahami kebutuhan akan Allah. Bukan kebutuhan akan moral yang baik atau apa pun, namun Allah adalah Pribadi, yang bisa bersekutu dengan kita. Itulah sebabnya Tuhan Yesus berkata, “Engkau tinggal dalam Aku, Bapa, Aku dalam Engkau, dan mereka di dalam Kita.” Inilah rahasia kehidupan yang harus kita mengerti.

Dalam kasih dan kesabaran-Nya, kegagalan kita tetap bisa menjadi

sarana Tuhan untuk menarik manusia datang kepada-Nya.