Skip to content

Kedewasaan Rohani

Bagi kita yang dari kecil sudah beragama Kristen, pasti kita bisa menangkap cara berpikir, cara pandang orang tua kita. Mereka sudah percaya Yesus sebagai penebus, maka otomatis cenderung atau bisa dipastikan merasa yakin akan masuk surga. Itu menjadi gambaran di dalam diri kita sejak kecil, namun sejatinya itu adalah suatu kesalahan, kebodohan dan bisa berarti juga penyesatan, penipuan dari kuasa kegelapan. Percaya Yesus sebagai Juruselamat yang menebus dosa, lalu yakin masuk surga—atau paling tidak, cenderung masuk surga—adalah suatu penyesatan. Tuhan Yesus memang datang menjadi Juruselamat, menyelesaikan karya keselamatan-Nya dengan mati di kayu salib dan bangkit, namun tidak berarti otomatis kita yang mengaku percaya pasti masuk surga. Kita harus membedah dahulu, apa yang dimaksud dengan percaya tersebut. 

Kebangkitan Tuhan Yesus menunjukkan bahwa selama hidup Dia tidak berdosa (Ibr. 5:7-9). Karena kesalehan-Nya atau kesucian-Nya, Dia dibangkitkan. Kalau Yesus ada kesalahan, Dia harus dihukum. Dia tidak bisa menggantikan tempat kita. Namun, Yesus tidak punya salah sama sekali, tetapi dihukum. Mengapa? Karena Yesus menggantikan tempat kita. Dia yang tidak bersalah, tidak berdosa dijadikan berdosa supaya kita yang berdosa dibenarkan atau dianggap benar. Dibenarkan atau dianggap benar itu belum berarti sudah benar. Hanya dianggap benar, supaya kita menerima Roh Kudus dan bisa memanggil Allah sebagai Bapa. Allah Bapa mendidik kita agar kita mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (Ibr. 12:5-10). Tanpa penebusan, kita tidak bisa menerima Roh Kudus untuk menjadi anak-anak Allah yang dididik dan dihajar. Masalahnya, apakah kita menerima didikan supaya terjadi perubahan?

Yohanes 1, firman Tuhan mengatakan, “Yang menerima-Nya diberi kuasa menjadi anak-anak Allah.” Arti kuasa itu sebenarnya, hak; exousia. Ironis, banyak orang Kristen merasa sudah punya hak, karena sudah menerima fakta sejarah bahwa Yesus telah lahir di kota Betlehem sebagai Juruselamat. Ini namanya iman sejarah; hanya percaya sejarah. Kalau baru sampai tingkat ini, jangan merasa sudah memiliki hak. Yang memiliki hak adalah orang yang menerima Yesus. Menerima Yesus itu bukan sekadar percaya bahwa Dia penebus, percaya fakta sejarah. Namun, menerima hidup-Nya di dalam hidup kita untuk kita kenakan, teladani, dan peragakan. Sehingga kita bisa berkata seperti Galatia 2:19-20, Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.” 

Semua orang yang masuk surga harus sampai pada kedewasaan rohani. Kalau masih “si aku,” berarti masih anak dunia dengan karakter lama kita. Dengan karakter yang diwarisi dari orang tua dan pengaruh dunia sekitar, yang menjadikan sosok “si aku” ini. Setelah menjadi anak-anak Allah, kita harus mengenakan sosok anak-anak Allah. Tentu melalui proses. Secara hukum kita menjadi anak-anak Allah. Lalu Bapa mendidik kita, diberi Roh Kudus, dan dibimbing lewat firman. Seperti dikatakan di Roma 8:28-29, “Allah bekerja dalam segala sesuatu mendatangkan kebaikan.” Dari hari ke hari ada berkat-Nya; berkat rohani yaitu pembentukan. 

Dalam Matius 22 kita temukan sebuah perumpamaan tentang undangan pesta. Pesta bangsawan, pesta raja-raja atau para petinggi. Namun, ada satu orang yang datang mengenakan baju compang-camping. Orang ini berarti tidak menghormati Raja atau tuan rumah. Undangan diberikan, tetapi bajunya harus kita usahakan sendiri. Ketika Raja tersebut marah, tetapi orang itu diam saja. Mengapa diam? Karena sejatinya dia tidak punya alasan. Dia tidak berani berkata, “Saya tidak tahu, Tuan. Saya tidak mengerti, Baginda.” Dia diam, berarti, dia tahu. Lalu Raja itu menyuruh hamba-hambanya untk mencampakkan orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. 

Ini menunjuk soal neraka. Kalau Yesus bicara mengenai “ratap tangis dan kertak gigi,” ini selalu soal neraka. Ayat selanjutnya mengatakan, “Sebab banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih.” Maksudnya orang yang dipilih harus bertanggung jawab. Berani menerima undangan, berarti harus menghargai yang memberi undangan. Kita ditebus oleh darah Yesus. Bahkan, sebelum lahir, sejatinya kita sudah ditebus. Dosa dunia telah ditebus-Nya. Maka ada pengadilan.  Kalau Tuhan Yesus tidak menebus semua dosa manusia, tidak ada pengadilan. 

Kalau kita tiap hari berdoa, kita mendapatkan impartasi. Hadirat Tuhan, kekudusan-Nya itu tidak ternilai harganya. 70-80 tahun masa hidup kita dibanding kekekalan, tidak ada artinya. Air di lautan, sebanyak apa pun tetap terbatas, tetapi kekekalan tidak terbatas. Betapa berharganya waktu hidup kita. Masalahnya, orang-orang Kristen yang dibodohi setan—yakin atau cenderung yakin bahwa dirinya masuk surga karena dosanya sudah ditebus—menjalani hidup tanpa tanggung jawab yang benar. Dia tidak tahu, bahwa ada tanggung jawabnya untuk berubah. Ibarat orang tua yang membayar uang pangkal anaknya. Dia pikir, uang pangkal menjamin anaknya lulus. Tidak bisa begitu, anaknya harus sekolah dulu. 

Salib ini ‘uang pangkal’ yang membuat kita bisa sah menjadi murid, baru setelah itu Bapa mendidik kita. Tuhan sering mengizinkan masalah-masalah terjadi, yang akan menimbulkan respons kita. Dari respons itu kita menemukan diri kita; apakah “si aku” masih hidup atau sudah mati. Semua itu membuat kita semakin dewasa, agar setelah kita didewasakan, kita menjalankan apa yang Tuhan katakan, “Seperti Bapa mengutus Aku, sekarang Aku mengutus kamu.” 

Semua orang yang masuk surga harus sampai pada kedewasaan rohani.