Tidak sedikit orang percaya yang bertanya-tanya, “Mengapa begitu sulit untuk bisa mengalami Tuhan atau merasakan hadirat Tuhan? Jangankan dalam keseharian, dalam doa pun rasanya Tuhan tidak terjangkau, Tuhan tidak terjamah.” Hal ini telah membuat banyak orang merasa bahwa Tuhan memberi kasih karunia atau anugerah khusus terhadap orang-orang tertentu untuk bisa mengalami Tuhan dan merasakan hadirat Tuhan. Sedangkan bagi jemaat, tidak bisa mengalami Tuhan. Tentu saja itu pendapat yang keliru. Lalu, apa masalahnya? Mengapa kita bisa begitu sulit merasakan hadirat Tuhan? Rasanya Tuhan itu sepertinya tidak ada, seakan-akan tidak ada. Sekalipun seorang hamba Tuhan yang sudah berkhotbah ribuan kali, bahkan sudah sering mengusir setan, mendoakan orang sakit atau melakukan mukjizat, tetapi di dalam hati kecil masih muncul pertanyaan: “Mengapa rasanya Tuhan tidak ada?” Sejujurnya, dalam doa pribadi juga kadang-kadang kita merasakan Tuhan tidak terjangkau.
Ternyata masalahnya adalah karena terjadinya banyak kebocoran di dalam hidup kita. Kapan itu terjadi? Ketika kita melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki kita lakukan—walaupun itu bukan sesuatu yang melanggar moral, walaupun itu sesuatu yang sederhana dalam standar umum dan bukan sesuatu yang salah—tetapi kalau Tuhan tidak ikut menikmatinya, Tuhan tidak hadir; dalam arti Tuhan tidak bersama dengan kita melakukan hal tersebut, itu berarti ada kebocoran dalam hidup kita. Maka, mestinya hal-hal yang tidak perlu kita lakukan, jangan kita lakukan. Banyak hal yang bisa dan seharusnya kita hindari seperti: pikiran-pikiran yang tidak patut yang muncul di dalam pikiran kita, keinginan-keinginan yang muncul dalam pikiran kita. Sebenarnya ini merupakan persiapan untuk ada di hadirat Allah yang Mahakudus.
Oleh karenanya, di dalam hidup kita setiap hari, kita tetap harus melakukannya di hadirat Allah—dengan catatan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan itu bersama dengan Tuhan, Tuhan berkenan. Sebab segala sesuatu yang kita lakukan itu harus merupakan pelayanan dan pengabdian kita kepada Tuhan, bukan sesuatu yang terpisah dari hadirat Allah. Itu bagian dari pengabdian dan pelayanan kita bagi Tuhan. Itulah sebabnya firman Tuhan mengatakan, “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1Kor. 10:31). Itu berarti apa pun yang kita lakukan, kita lakukan di dalam hadirat Bapa di surga. Ini adalah kesempatan yang sangat berharga, jangan anggap ini sebagai beban atau tekanan sehingga kita terpaksa melakukannya. Ini untuk keselamatan kekal, keselamatan abadi kita. Di sini banyak orang menganggap remeh, sehingga akhirnya jadi sembarangan hidup.
Maka, untuk menghindari kebocoran tersebut, kita harus mempersempit ruang hidup kita, artinya agar kita tidak sembarangan memproduksi keinginan atau kehendak yang itu melahirkan gairah yang membawa seseorang kepada kebinasaan. Ini tergantung kita, bukan tergantung Tuhan, karena Tuhan tidak menetapkan seseorang binasa atau seseorang masuk surga secara sepihak. Sebagaimana Adam dan Hawa diberi kehendak untuk menentukan nasib kekalnya bahkan nasib seluruh keturunannya, demikian pula kita. Kita harus mempersempit ruang hidup kita; artinya kita harus mengalokasi pikiran, perasaan kita untuk memproduksi kehendak-kehendak yang hanya sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Perjuangan yang terus-menerus harus kita lakukan supaya kita terbiasa untuk memiliki gairah yang benar. Gairah yang sesuai dengan yang dikatakan Tuhan Yesus: gairah mengumpulkan harta di surga, bukan di bumi, seperti yang ditulis dalam Kolose 3:1-3 yaitu, “Mencari dan memikirkan perkara-perkara yang di atas.”
Oleh sebab itu, kita harus menghindari keadaan kita yang bisa menyimpang karena kebocoran-kebocoran yang tanpa sadar kita lakukan. Maka, kehendak bebas yang kita miliki ini harus kita ciptakan untuk kesukaan hati Allah. Menyukakan hati Allah merupakan satu-satunya keinginan kita. Sekarang, keinginan kita batasi; ruangan hidup kita persempit agar kita dapat menyukakan hati Allah. Hidup kita di bumi ini tidak lebih dari 70 sampai 80 tahun. Durasi yang singkat ini harus diisi dengan kewaspadaan akan berbagai kebocoran yang bisa terjadi. Masalah berikutnya adalah bagaimana kita bisa tahu bahwa itu adalah sebuah kebocoran? Untuk yang satu ini, kita membutuhkan kepekaan. Tetapi kalau kita punya komitmen untuk hidup dengar-dengaran, hidup suci, hidup berkenan kepada Bapa, maka pasti Roh Kudus akan memimpin kita untuk mengerti. Kalau ada kesalahan yang pernah kita lakukan, Bapa bisa memakai kesalahan itu untuk menyempurnakan kita. Keinginan kita di bumi ini yang penuh dengan jebakan dosa ini, kita alokasikan untuk melayani Tuhan saja, menyenangkan hati-Nya.
Ketika kita melakukan hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki kita lakukan —walaupun itu bukan sesuatu yang melanggar moral— tetapi kalau Tuhan tidak ikut menikmatinya, itu berarti ada kebocoran dalam hidup kita.