Skip to content

Kebiasaan

Kalau selama ini kita mendengar hal orang kerasukan setan, pengertian kita mengenai itu adalah orang yang manifestasi dari kerasukan dalam bentuk berteriak, menjerit, mata mendelik, mengamuk, hilang kesadaran sama sekali; layaknya orang gila. Tetapi Alkitab menunjukkan sesuatu yang berbeda, sebagaimana tertulis dalam injil Matius 16:21-28. Dalam perikop tersebut dijabarkan bagaimana orang yang kerasukan setan tidak harus bermanifestasi ekstrem seperti persepsi orang selama ini. Ketika Tuhan Yesus menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga, Petrus menarik Yesus ke samping—artinya menjauhi orang-orang yang kepada mereka Tuhan Yesus berbicara—dan menegur Yesus, “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu. Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Dari pernyataan ini timbul dua kesan.

Pertama, seakan-akan Tuhan Yesus menyampaikan sesuatu yang salah; yang bukan berasal dari Allah. Kedua, Petrus menyatakan diri lebih benar, lebih pintar, lebih cakap sehingga ia menegur Tuhan Yesus. Petrus yakin sekali apa yang dia lakukan itu benar. Petrus menggunakan nama Allah, seakan-akan ia mewakili Allah untuk menegur Tuhan Yesus. Petrus yakin sekali apa yang dilakukan itu benar atas nama Tuhan.  Tetapi, apa reaksi Yesus? Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus, “Enyahlah, Iblis! Engkau suatu batu sandungan bagiku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.” Ternyata Petrus bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, tetapi memikirkan apa yang dipikirkan manusia. Apa yang dipikirkan Petrus itu adalah pikiran manusia, bukan pikiran Allah. Pikiran tersebut menjadi batu sandungan atau menghambat, atau bisa menggagalkan rencana Allah. Padahal, Petrus merasa bahwa dirinya benar-benar sepaham dengan Allah. Bahwa apa yang dikatakan itu sesuai dengan kehendak dan rencana Allah.

Jadi, Iblis ada di dalam pikiran, di dalam ide, di dalam hasrat, di dalam keinginan Petrus. Karena seperti murid-murid lain, Petrus menginginkan agar Yesus menjadi Raja seperti Herodes; raja versi manusia, juruselamat versi manusia. Juruselamat politis yang membebaskan bangsa Israel dari kekuasan Roma. Padahal, Tuhan Yesus datang ke dunia bukan untuk itu. Memang Dia Raja, tetapi raja versi Allah. Dia adalah Juruselamat, tetapi juruselamat versi Allah. Membebaskan manusia dari belenggu dosa. Dia memang Juruselamat dunia, tetapi bukan “juruselamat duniawi.” Sama seperti ketika suatu hari ada seorang berkata kepada Tuhan Yesus, “Tuhan, suruh saudaraku supaya dia berbagi warisan dengan aku,” (Luk. 12:13) Yesus berkata, “Siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?” Apakah Yesus bukan hakim? Mengapa Dia menolak? Jelas, Dia adalah Hakim. Semua kita akan berdiri di hadapan takhta pengadilan Kristus (2Kor. 5:9-10). Tetapi bukan “hakim” versi manusia, melainkan Hakim versi Allah.

Bicara soal versi ini memang tidak sederhana. Banyak orang memiliki konsep, asumsi yang salah tentang Allah. Jika konsep dan asumsi tentang Allah salah, maka konsep dan asumsinya tentang hal-hal yang dia lakukan, berpotensi salah pula. Dia merasa tindakannya benar, padahal tidak benar. Bahkan ia merasa bahwa ini kehendak Allah, padahal belum tentu demikian. Dalam hal ini kita harus sangat hati-hati di sini. Sebab, kalau kita melakukan hal-hal di luar kehendak Allah dan membiasakan diri melakukan hal-hal di luar kehendak Allah, berarti kita telah hidup dalam keadaan tidak memiliki atau kehilangan kemuliaan Allah. Jadi, kemuliaan Allah itu dimiliki oleh seseorang ketika, ia melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak Allah, dalam gairah Allah. Kalau kita membiasakan hal itu, ketika kita melakukan sesuatu di luar gairah atau spirit Allah, kita akan merasa sakit, merasa sangat terganggu; jiwa kita terganggu.

Sebaliknya, orang yang biasa memuaskan keinginannya, memuaskan gairahnya, maka ketika hal itu terpenuhi, dia tidak akan puas, dia sakit. Dia harus memuaskan, dia harus melampiaskan gairahnya tersebut. Ketika seseorang melampiaskan gairah, suatu keinginan yang tidak sesuai dengan gairah atau spirit atau kehendak Allah, sejatinya ia memberi kesempatan kepada Iblis. Alkitab menasihatkan dalam Efesus 4:22-24, “yaitu bahwa kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan,” Ada nafsu yang menyesatkan di dalam diri kita, yang didorong oleh gairah, spirit, dan kehendak yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. “Supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya. Karena itu buanglah dusta, dan berkatalah benar seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota.”

Kalau kita membiasakan diri melakukan hal-hal di luar kehendak Allah, berarti kita telah hidup dalam keadaan tidak memiliki atau kehilangan kemuliaan Allah.