Skip to content

Kebersamaan dengan Allah

Tidak berlebihan kalau Firman Tuhan mengatakan, “Kuduslah kamu sebab Aku kudus,” artinya kita harus memiliki standar kekudusan seperti Dia. Dan memang sudah standar kalau Alkitab berkata, “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.” Karena memang target yang harus dicapai itu ber-fellowship dengan Allah dalam kebersamaan. Kebersamaan dengan Allah jangan hanya diukur dengan status sebagai orang Kristen, walaupun rajin datang ke gereja. Setan memang banyak menipu dan menyesatkan banyak orang di sini. Juga jangan mengukur dengan menjadi aktivis gereja, bahkan tidak cukup sekalipun menjadi pendeta. 

Sebagaimana hubungan suami istri yang ideal, tidaklah cukup ditandai dengan kebersamaan di ranjang atau di ruang makan. Tetapi kebersamaan itu harus sepanjang waktu, sehati, sepikiran, seperasaan, dan setujuan. Maka, kalau kita ber-fellowship dengan Allah, kita harus memiliki pikiran, perasaan yang memenuhi standar untuk bisa ber-fellowship dengan Allah. Bukan Allah yang menyesuaikan diri terhadap kita, namun kita yang harus menyesuaikan diri terhadap Allah. Maka, kita harus didewasakan, diproses untuk sempurna, memiliki pikiran perasaan Kristus. Dan itulah tujuan penggembalaan, tujuan pelayanan yang sebenarnya.

Paulus pun berkata, “Saudara-saudara, ikutilah teladanku dan perhatikanlah mereka, yang hidup sama seperti kami yang menjadi teladanmu.” Di sepanjang perjalanan sejarah gereja, pasti selalu ada orang-orang yang bisa menjadi teladan, walaupun itu makin sukar ditemukan. Jangan main-main dengan hidup. Kita bukan binatang atau makhluk lain. Kita adalah manusia yang diberi potensi untuk bersekutu dengan Allah. Dan Tuhan memberi kita akses untuk sampai kepada Bapa. 

Coba kita merenung dan berpikir mengenai orang-orang yang mengambil keputusan bunuh diri. Betapa bodohnya. Dia pikir semua masalah akan selesai dengan bunuh diri itu, padahal ternyata di balik kubur ada kesadaran kekal. Dan betapa menyesalnya orang yang bunuh diri, ketika kekecewaan yang mendera hidupnya, dia pikir akan lewat namun ternyata itu tidak ada artinya waktu dia meninggal, dan melihat kekekalan. Ada ketakutan dan kengerian kekal, sehingga dia tidak akan sempat lagi berpikir tentang orang-orang yang masih hidup. 

Tetapi ada “bunuh diri” yang bermartabat, yang tidak akan kita sesali, yaitu mematikan keinginan-keinginan dosa, mematikan kesenangan-kesenangan dunia. Ketika kita mengikat janji dengan Tuhan, “Aku mau mematikan semua. Aku berjanji hidup suci, Tuhan. Aku berjanji tidak mengingini dunia lagi.” Itu seperti orang bunuh diri. Tetapi, di situlah kita akan menemukan Allah yang hidup. Keuntungan menjadi manusia adalah diberi kemampuan untuk bersekutu dengan Allah; dengan kata lain, kita diberi kesempatan untuk memiliki Allah. Dan itu bisa kita miliki, kalau kita mematikan segala keinginan dosa. 

Memiliki persekutuan dengan Allah membuat kita memiliki sukacita, kebahagiaan, kebebasan lebih dari apa yang bisa kita pikirkan dan bayangkan. Memang pada waktu kita mulai belajar untuk mematikan keinginan dosa, nafsu-nafsu yang tidak sesuai kehendak Allah dan kesenangan-kesenangan dunia, kita harus melewati masa penyesuaian yang sangat berat. Tetapi, makin hari pasti makin bisa. Semua yang dibiasakan, itu bisa. Semua yang dilatih, bisa membuat kita ahli. Jadi, jangan membuat waktu kita sia-sia. Ada keuntungan yang nilainya kekal. Namun tentu harus diusahakan, harus dilatih. Karena tidak bisa kita ber-fellowship, bersekutu dengan Allah dengan keadaan kita yang tidak memenuhi standar.  

Kita harus bertumbuh dewasa seperti Yesus, supaya kita dimuliakan bersama-sama dengan Yesus. Kita bisa mengenali diri kita lebih baik, kalau kita bertanya kepada Roh Kudus, “Model begini apa layak tidak, dipermuliakan?” Jangan sampai kesempatan untuk bersekutu dengan Allah ini berlalu, jangan kita kehilangan waktu atau kehilangan kesempatan untuk dibarui, diubah, supaya bisa memiliki keadaan yang bersekutu dengan Allah. Sementara setan berusaha untuk menipu banyak orang Kristen, dengan menghembuskan ide seakan-akan Allah itu selalu memiliki toleransi. 

Jadi kalau kita ikut Tuhan Yesus harus menderita, itu bukan karena Bapa senang kita ini menderita, bukan. Tetapi karena Bapa ingin kita berubah, maka kita diproses. Bukan mau menyakiti kita. Seperti tangan dokter yang memegang pisau untuk membedah tubuh kita, untuk mengambil tumor yang ada di dalam tubuh kita ini. Jadi, jangan mencurigai Allah. Kita harus mengikat janji dengan Tuhan. Kita tidak mau punya kesenangan dunia lagi, tetapi kita mau bekerja untuk Tuhan. Hidup kita, nyawa kita, darah kita, uang kita; semua yang kita miliki untuk pelayanan bagi Tuhan. Maka, ini puncaknya: di mana pun kita berada, kita dalam keadaan selalu bersekutu dengan Allah. Kita harus selalu menjaga hadirat Tuhan. 

Kebersamaan dengan Allah jangan hanya diukur dengan status sebagai orang Kristen, walaupun rajin datang ke gereja.