Skip to content

Keberanian untuk Percaya

Kita melihat kehidupan makin tidak menentu. Keadaan bisa berubah tanpa diduga, dan dalam kecepatan yang makin tinggi. Kalau dulu, perubahan zaman itu memerlukan waktu lama, bahkan bisa terprediksi. Tapi sekarang, tidak terprediksi. Banyak kejutan yang bisa terjadi atau berlangsung di dalam kehidupan ini. Dalam gelanggang politik, kita melihat orang-orang yang tadinya tidak diperhitungkan menjadi pemimpin, bisa menjadi pemimpin. Orang-orang yang diperhitungkan akan menjadi orang besar, ternyata jatuh dan terhilang. Harga-harga turun naik tidak terprediksi, dan tentu juga tidak terkendali. Dunia bisa berubah setiap saat dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Menghadapi dunia seperti ini, orang bisa takut, gentar, khawatir dan cemas. Hal ini yang membuat seseorang tidak merasa bahagia, merasa masih ada sesuatu yang membuat jiwanya tidak tenang. Mereka terintimidasi dengan perasaan khawatir, takut jangan-jangan nanti terjadi ini dan itu. Untuk itu, mari kita memperhatikan apa yang Tuhan ajarkan kepada kita yaitu menaruh percaya kita kepada Tuhan. Percaya kepada Tuhan bukan hanya berarti percaya kuasa Tuhan yang dapat meloloskan kita dari berbagai keadaan yang kita tidak ingin kita alami atau dapat menghindarkan kita dari berbagai hal yang tidak menyenangkan, melainkan berarti percaya kepada pribadi-Nya bahwa segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita itu sesuatu yang tidak akan mencelakai kita, tidak akan melukai, tidak akan menyakiti; apa pun yang terjadi. 

Kepercayaan kepada pribadi Tuhan berarti kita tidak meragukan atas apa yang Allah izinkan terjadi di dalam hidup kita. Tentu kita harus percaya tidak ada sesuatu yang terjadi dalam hidup kita ini secara kebetulan. Semua ada di dalam kontrol Tuhan, semua di dalam monitoring Allah. Firman Tuhan mengatakan, “Pagar rumahmu ada di depan mata-Ku,” artinya “jika ada orang jahat, jika ada binatang buas, jika ada malapetaka, jika ada marabahaya datang, Aku tahu.” Jadi yang harus kita lakukan adalah menyerahkan hidup kita di dalam tangan Tuhan. Menyerahkan hidup di dalam tangan Tuhan bukan hanya berarti kita bisa tenang karena tidak ada masalah berat, dan Tuhan pasti memenuhi apa yang kita butuhkan, melainkan berarti mengikuti rencana-Nya di dalam hidup kita.

Seseorang jangan berharap memperoleh keadaan yang baik, kalau tidak menyerahkan hidup kepada Tuhan; dengan catatan menyerah kepada rencana-Nya. Kita menyerah bukan karena ketidakberdayaan supaya Tuhan menopang, melindungi—sebab itu sudah pasti—melainkan kita menyerah kepada kehendak Tuhan. Apa yang Allah kehendaki di dalam hidup ini. Jadi, kita menyerah, artinya “biar kehendak-Mu yang jadi di dalam hidupku, Tuhan.” Dan ingat, firman Tuhan mengatakan bahwa “Aku tahu rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu. Bukan rancangan kecelakaan, tetapi rancangan damai sejahtera.”

Di sini memang dibutuhkan keberanian untuk memercayai bahwa apa yang Dia lakukan atau apa yang Allah lakukan adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan. Jadi, kita harus menyerah. Ini bukan hal sederhana. Kenyataannya, sangat sedikit orang yang benar-benar menyerahkan hidup kepada Tuhan; yang artinya menyerahkan dirinya untuk memenuhi rencana, rancangan Allah. Berarti dia tidak boleh memiliki visi dan misi pribadi. Sudah tidak boleh. Apa pun yang dia ingini, harus dibicarakan dengan Tuhan. Apa pun yang direncanakan, harus didiskusikan dengan Tuhan. 

Dan ini memenuhi apa yang dikatakan oleh Yakobus 4:13-14, “Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung,” sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.” Lalu apa yang kita harus lakukan? Segala sesuatu yang kita lakukan, tentu kita diskusikan dengan Tuhan, kita dialogkan dengan Tuhan dan prinsipnya adalah “jika Tuhan menghendaki.” 

KIta pertimbangkan dengan pikiran kita sendiri, lalu kita berhitung, “pasti nanti baik. Aku akan mendapat keuntungan begini, aku mau senang,” tapi ternyata gagal, rugi. Tentu kita berdoa, “Tolong Tuhan, berkati ya, Tuhan.” Disertai dengan janji, kalau ini sukses, kita akan memberi sekian persen untuk pekerjaan Tuhan. Tapi sebenarnya semua dibungkus dan didorong oleh nafsu ambisi pribadi. Kita malu karena gagal. Mengapa bisa begitu? Karena tidak mendiskusikannya dengan Tuhan, tidak membicarakan. Tidak didasarkan pada pernyataan “jika Tuhan menghendaki.” Kita tidak peduli Tuhan menghendaki atau tidak, bahkan kita memaksa Tuhan untuk memberkati. Dan dalam anugerah Tuhan, Tuhan tidak mengabulkannya karena Dia tahu yang terbaik bagi kita.

Dibutuhkan keberanian untuk memercayai bahwa apa yang Dia lakukan adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan.