Orang yang merdeka dalam Tuhan meyakini bahwa tidak ada yang dapat membuat dirinya bahagia selain Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini, suasana jiwanya sangat ditentukan oleh hubungannya dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan adalah sesuatu yang benar-benar sangat riil. Ini merupakan sebuah hubungan yang dapat dirasakan secara nyata, sebab Allah adalah Allah yang hidup. Akan tetapi faktanya, tidak banyak orang yang mampu memiliki hubungan yang riil dengan Tuhan, sehingga tidak banyak orang yang sungguh-sungguh mengalami Tuhan. Mereka tidak pernah dapat menikmati-Nya secara nyata. Bagi mereka, Tuhan hanyalah fantasi dalam pikiran. Mereka cukup puas memercayai bahwa Allah itu ada, dan membangun pengertian-pengertian tentang-Nya. Tidak heran kalau mereka sangat bergantung kepada materi dunia untuk dapat menopang dan menciptakan kebahagiaan dalam hidup ini, sehingga mereka tidak mengandalkan Tuhan. Kalau pun mereka berurusan dengan Tuhan, itu bukan karena mereka hendak menjadikan Tuhan sebagai kebahagiaan hidupnya, melainkan karena mereka sangat mengingini berkat, kuasa, dan pertolongan Tuhan untuk dapat meraih dunia agar hidup nyaman dan aman di bumi ini. Dengan demikian, sesungguhnya yang menjadi kebahagiaan hidup mereka adalah dunia ini.
Orang percaya yang menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan adalah orang-orang yang bersedia hidup tanpa apa pun dan siapa pun, tetapi tidak sanggup hidup tanpa persekutuan secara benar dengan Tuhan. Prinsip hidup mereka adalah Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan hidup ini. Orang percaya seperti ini tentu saja menghasrati Tuhan lebih dari mengingini apa pun dan siapa pun. Tuhan dipandang sebagai kebutuhan yang selalu paling penting dan mendesak. Ini tentunya berbeda dengan banyak orang yang memandang Tuhan hanya sebagai sebagai kebutuhan penting, tetapi tidak mendesak. Lebih jauh berbeda lagi dengan orang yang memandang Tuhan bukan sebagai kebutuhan yang penting dan tidak mendesak. Dunia Barat memang memandang demikian. Tidak heran, kalau gereja-gereja mereka menjadi sepi. Hanya orang yang memandang Tuhan sebagai kebutuhan yang penting dan mendesak sajalah yang dapat “mendahulukan Kerajaan Allah,” yaitu bagaimana menjadi umat Kerajaan Allah yang baik sesuai dengan kehendak Tuhan.
Orang yang menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya kebahagiaan adalah orang yang selalu mencari dan menghayati kehadiran Tuhan di mana pun mereka berada. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk selalu hidup berkenan kepada Tuhan, sebab kehidupan yang tidak berkenan, merusak hubungan dengan Tuhan. Orang yang hidup sembarangan menunjukkan bahwa mereka belum mengandalkan Tuhan dengan benar. Biasanya, ketika orang-orang seperti ini tidak dalam keadaan kesulitan, mereka tidak merasa membutuhkan Tuhan. Tidak sedikit di antara mereka yang tidak mencari Tuhan sama sekali. Kalaupun di antara mereka masih ada yang masih pergi ke gereja dan menjalankan kegiatan rohani, mereka sebenarnya tidak memiliki rasa haus akan Tuhan secara proporsional. Dalam hal ini, Tuhan tidak menjadi tujuan hidup. Tuhan hanya sekadar menjadi sarana untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup.
Banyak orang merasa mengandalkan Tuhan, sebab dalam menghadapi berbagai persoalan, mereka mengharapkan pertolongan Tuhan untuk menyelesaikannya. Mereka juga percaya bahwa Tuhan pasti akan menolongnya. Pengandalan seperti ini adalah pengandalan akan Tuhan yang tidak dewasa. Pengandalan versi inilah yang dimiliki sebagian besar orang beragama. Sesungguhnya, mereka secara batin tidak mengandalkan Tuhan. Sebab, mereka merasa bahwa dengan terpenuhinya segala kebutuhan hidup, mereka akan hidup bahagia, nyaman, dan aman. Untuk itu, mereka mengandalkan Tuhan. Dengan demikian, di satu pihak, mereka mengandalkan Tuhan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut pemenuhan kebutuhan jasmani, tetapi di pihak lain, sejatinya mereka tidak menjadikan Tuhan sebagai kebahagiaan. Bagi mereka, yang lebih menentukan kebahagiaan hidup adalah terpenuhi kebutuhan jasmani serta keadaan aman dan nyaman. Itu berarti mereka tidak mengandalkan Tuhan secara batiniah.
Hendaknya, setiap kita yang telah memperoleh kemerdekaan dalam Tuhan menjadikan-Nya sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan. Kita tidak mengandalkan Tuhan demi pemenuhan kebutuhan jasmani, melainkan kita mengandalkan-Nya dengan mencari kehendak-Nya untuk dilakukan. Dijawab atau tidaknya persoalan hidup kita, tidak menjadi masalah besar, sebab kebahagiaan kita tidak terletak pada hidup yang bebas masalah. Kebahagiaan kita terletak pada pribadi Tuhan sendiri, ketika kita didapati hidup tidak bercacat cela. Apa pun yang membuat Tuhan bahagia, kita turut berbahagia di dalamnya. Sebaliknya, seluruh hal yang tidak membahagiakan Tuhan, juga tidak membahagiakan kita. Ini paralel dengan ungkapan Paulus supaya setiap kita “memiliki pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus” (Flp. 2:5).
Dijawab atau tidaknya persoalan hidup kita, tidak menjadi masalah besar, sebab kebahagiaan kita tidak terletak pada hidup yang bebas masalah.