Pada akhirnya, yang dikehendaki Tuhan adalah agar manusia menjadi manusia yang berbudi luhur, maksudnya menjadi makhluk yang berbuat kebaikan bagi sesama. Hal ini sangat berbeda dengan binatang yang demi mempertahankan hidup bisa mengorbankan apa pun. Seperti misalnya binatang buas yang mengejar mangsa dan mencabik-cabiknya adalah hal yang harus dilakukan atau menurut kodrat. Ironis sekali kalau hari ini banyak manusia berkarakter seperti hewan. Mereka melakukan praktik ini sampai pada taraf menganggap hal tersebut sebagai kewajaran atau hampir bisa dikatakan kodrat. Seperti misalnya praktik korupsi dan pemerasan, sudah hampir melanda semua golongan dan instansi, baik pemerintah maupun swasta. Tindakan mereka bukan lagi sesuatu yang dianggap aib yang memalukan.
Suasana dunia seperti ini memberi pengaruh yang kuat dalam kehidupan hampir semua orang. Sedikit sekali orang yang memiliki integritas, sehingga tidak terpengaruhi oleh suasana dunia yang fasik ini. Sesuai firman Tuhan, pada akhir zaman manusia menjadi makhluk yang mencintai dirinya sendiri (2 Tim. 3:1-5). Hampir semua manusia telah kehilangan gambar diri, artinya tidak mengerti dan tidak mau mengerti bagaimana seharusnya menjadi makhluk yang disebut “gambar Allah.” Untuk memperbaiki manusia, Tuhan memberikan hukum-Nya. Hukum diberikan dengan maksud agar manusia bisa menjadi beradab, minimal lebih baik dari hewan. Pada umumnya agama mengusahakan agar pemeluk agamanya menjadi manusia yang hidup sesuai dengan moral agama yang dianutnya.
Kenyataan, sungguh ironis, hukum agama tidak bisa membendung pengaruh jahat dalam diri manusia itu sendiri sehingga praktik “homo homini lupus” tetap ada, subur bahkan sekarang semakin merajalela. Pada kenyataannya, di seluruh dunia manusia mengalami kemorosotan akhlak yang luar biasa. Perang saudara di beberapa negara, usaha memusnahkan suatu suku bangsa atau genosida, bom bunuh diri, teror, perlombaan senjata, peningkatan ketegangan yang memicu pengayaan nuklir menjadi gambaran yang jelas bahwa manusia telah kehilangan keberadabannya. Bagaimana sikap kita terhadap situasi dunia seperti ini? Kita harus mencari Tuhan dan kebenaran-Nya dan meneguhkan hati untuk memiliki integritas sebagai orang percaya yang berdiri pada kesucian dan kebenaran-Nya.
Untuk bisa menjadi manusia yang berbudi luhur, harus ada niat yang sungguh-sungguh pada setiap individu. Niat ini merupakan inti dari hakikat manusia yang tidak diintervensi oleh siapa pun. Kalau hakikat ini bisa diintervensi—artinya kalau keputusan dan pilihan manusia dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya—maka manusia tidak perlu bertanggung jawab atas keputusan dan pilihannya. Oleh sebab itu, harus dimengerti bahwa sesungguhnya Iblis tidak dapat mencegah manusia berbuat baik, tetapi di lain pihak Tuhan pun tidak bisa memaksa manusia berbuat baik (Kej. 4:7). Manusia diberi kehendak bebas untuk memilih dan menentukan nasib atau keadaannya. Manusia memilih apakah mengasihi sesamanya atau mendatangkan bencana bagi sesamanya.
Berbeda dengan hewan yang oleh nalurinya mereka bergerak dan mempertahankan hidup, apa pun mereka lakukan demi mempertahankan hidup ini. Mereka tidak dapat menghindarkan diri dari dorongan yang sudah menjadi kodrat dalam diri hewan tersebut. Mereka tidak dapat menjadi makhluk yang agung. Bisa dimengerti kalau mereka tidak memiliki “adab” atau kesantunan hidup. Berbeda dengan manusia. Manusia bisa mengatur dorongan yang ada di dalam dirinya. Itulah sebabnya manusia bisa bertanggung jawab atas dirinya di hadapan Tuhan yang menciptakan dirinya.
Adalah bodoh kalau memandang seakan-akan manusia dipaksa untuk berbuat baik atau berbuat jahat berdasarkan takdir atau pemilihan Tuhan. Seakan-akan manusia menjadi seperti hewan yang tidak dapat menghindarkan diri dari dorongan yang ada padanya. Kebebasan manusia mengambil keputusan menunjukkan keagungan manusia itu sendiri. Kalau manusia memilih melakukan kebajikan bagi sesamanya, berarti ia menjadikan keagungan dalam dirinya bernilai tinggi. Tetapi sebaliknya, kalau ia tidak melakukan kebajikan, maka ia membuat keagungannya rusak sehingga ia bernilai rendah. Itulah sebabnya manusia yang merusak keagungan dirinya, akan dibinasakan. Jadi, kalau manusia binasa, hal itu disebabkan oleh pilihannya dan keputusan sendiri, bukan karena dorongan dari pihak di luar dirinya atau takdirnya. Sesuatu di luar diri manusia memang memiliki pengaruh, tetapi tidak menentukan. Bagaimana pun manusia itu sendiri yang menentukan pilihan dan keputusannya. Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa ia berusaha untuk berkenan kepada Allah (2 Kor. 5:9-10).