Kalau kita membaca Alkitab, orang-orang yang berurusan dengan Tuhan, tidak dipermalukan, diberkati, dilindungi, bahkan diberi kelimpahan. Tentu untuk umat Perjanjian Baru, agak berbeda karena umat Perjanjian Baru memang mendapat tugas dari Allah Bapa untuk meneruskan karya keselamatan dalam Yesus Kristus. Mungkin dari lahir sampai meninggal hidup dalam aniaya atau penderitaan, tetapi itu hanya terjadi pada zaman Kristen mula-mula dan tidak terjadi di zaman yang lain. Mengapa demikian? Karena kekristenan baru muncul dan masih sangat muda, maka Tuhan menjaga dan memelihara iman kristiani itu dengan penganiayaan. Alkitab mengatakan, penderitaan membuat seseorang berhenti berbuat dosa.
Orang-orang non Kristen, orang-orang kafir atau orang-orang yang beragama Yahudi, masuk Kristen dengan karakter atau watak buruk yang mereka miliki sebelum menjadi Kristen, harus disempurnakan Tuhan melalui penderitaan. Dengan demikian, kekristenan terpelihara. Ini digambarkan dalam Wahyu 12 di mana wanita itu menggambarkan gereja Tuhan atau iman Kristen yang dipelihara di padang gurun. Padang gurun tidak pernah berbicara keadaan nyaman. Tetapi itulah pemeliharaan Allah atas kekristenan. Tetapi itu hanya berlaku pada gereja awal sekali, pada abad ke-1 dan pertengahan abad ke-2. Setelah itu, kekristenan mulai diterima.
Ini kasus khusus. Orang-orang Kristen pada abad awal dan pertengahan abad ke-2 adalah orang-orang Kristen yang mendapatkan hak istimewa yang tidak akan pernah mereka sesali di kekekalan. Jadi kita harus mengerti mengapa kekristenan abad pertama dan abad kedua itu mengalami aniaya. Pada intinya, orang-orang yang berurusan dengan Allah, tidak dipermalukan. Dari zaman Abraham dan semua tokoh-tokoh iman Perjanjian Lama, tidak dipermalukan. Sadrakh, Mesakh, Abednego, Daniel, Ester, Daud, dan semua yang berurusan dengan Allah itu tidak dipermalukan. Karena Allah memang hidup, Allah itu ada. Tuhan Yesus yang mulia, Juru Selamat kita berkata, “Aku datang untuk memberi hidup dan mereka memilikinya dalam segala kelimpahan.”
Tentu kata kelimpahan di sini harus dipahami dengan benar, tidak harus mobil atau rumah mewah atau uang banyak. Tetapi pada intinya, kehidupan orang yang benar-benar berurusan dengan Tuhan, tidak dipermalukan. Hidupnya harus mempesona, agung. Orang Kristen di abad pertama dan kedua, walaupun teraniaya, hidup mereka agung. Akhirnya kekaisaran Roma ditaklukkan oleh orang-orang Kristen yang disembelih, dipancung, dibakar hidup-hidup, tetapi mereka diam. Pasti ada pesonanya. Sekarang kita tanya kepada diri kita masing-masing, apakah hidup kita punya pesona? Bagaimana kita bisa bersaksi, bagaimana kita bisa berkhotbah, bagaimana kita bisa mengajar kalau hidup kita tidak mempesona, tidak ada keagungan?
Memang keagungan yang dimiliki oleh orang percaya yang benar, tidak selalu dapat dilihat. Karena orang-orang yang bengkok hatinya, mereka tidak akan dapat melihat kemuliaan Allah dalam kehidupan orang Kristen yang benar. Bahkan mereka sengaja akan membusuk-busukkan orang Kristen yang benar. Tetapi, yang jelas orang yang berurusan dengan Tuhan, tidak akan dipermalukan, pasti hidupnya mempesona. Jadi kalau hidup kita tidak mempesona, tidak ada sesuatu yang istimewa, ada yang salah dengan hidup kita ini, ada yang keliru. “Aku datang untuk memberi hidup,” kata Tuhan Yesus, supaya mereka memiliki hidup itu dalam segala kelimpahan.
Kalau kita sebagai pendeta atau hamba Tuhan, tidak menikmati atau tidak mengalami kelimpahan itu, maka kita tidak bisa membagikan kepada jemaat, kita tidak bisa menularkannya kepada jemaat. Jemaat yang tidak memiliki kemuliaan Allah tersebut, dia juga tidak bisa membagikan kepada orang lain. Itu berarti dia tidak menjadi saksi. Padahal Tuhan Yesus berkata, “Bapa mengutus Aku, Aku mengutus kamu”. Maka, pasti ada yang salah dalam berurusan dengan Tuhan. Yakobus 1:8 mengatakan, “Sebab orang yang mendua hati, tidak akan tenang dalam hidupnya.” Jangan berharap orang yang mendua hati memperoleh sesuatu dari Tuhan.
Kita bersyukur dibawa Tuhan kepada situasi atau keadaan-keadaan yang sangat sulit, yang kadang-kadang sungguh kita merasakan bahwa tidak ada jalan keluar. Tetapi di situ kita mengerti maksud firman waktu Daud dalam kesesakan mengatakan, “Daud menguatkan kepercayaannya kepada Elohim Yahweh.” Percaya itu dalam hati dan Tuhan membaca percaya itu. Jadi kalau Tuhan katakan, “Kalau engkau mempunyai iman sebesar biji sesawi, gunung pindah,” sebenarnya yang ingin dikatakan adalah apa pun bisa kamu lakukan, apa pun bisa terjadi karena Allah Maha Kuasa. Tetapi, seberapa kita percaya kepada Allah, itu masalahnya.
Orang sering tidak memperkarakan, seberapa percayanya kepada Tuhan, seberapa bulat, seberapa utuh percayanya kepada Tuhan. Dia merasa sudah percaya, padahal belum tentu. Orang yang bisa melihat seberapa percayanya kepada Tuhan adalah orang yang tiap hari datang menghadap Tuhan. Jadi kalau sekarang kita percaya Allah itu hidup, Allah itu ada, jangan mendua. Percaya sepenuhnya kepada Tuhan. Tentu kalau kita benar-benar percaya kepada Tuhan, kita harus hidup suci.