Sejatinya, tambah hari kita bisa semakin menyadari betapa jauh standar kekristenan yang dikehendaki oleh Tuhan dari kehidupan orang-orang Kristen hari ini, juga dari kehidupan kita pribadi. Semakin mengenal kebenaran, jiwa kita meronta, sebab kita menyadari betapa keadaan kita masih jauh dari standar yang Tuhan kehendaki. Kelambanan kita bertumbuh, akselerasi kita dalam bertumbuh, yang mestinya seiring dengan umur biologis, yang mestinya seiring dengan umur rohani, tetapi tidak berjalan dengan baik. Sehingga, ketika kita menyadari kelambanan, keterlambatan, ketidaksinkronan antara umur biologis, umur rohani, dengan kehidupan rohani kita, atau tingkat yang mestinya kita capai, jiwa kita meronta. Tetapi itu yang Tuhan kehendaki, jiwa kita harus meronta.
Firman Tuhan mengatakan, “Berbahagialah orang yang haus dan lapar akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Tubuh yang haus dan lapar menunjukkan mekanisme tubuh yang sehat, metabolisme tubuh yang baik. Jadi, ketika jiwa kita meronta itu pertanda bahwa kita mesti mencapai apa yang seharusnya kita capai, tetapi belum. Di situlah ada pengalaman haus dan lapar akan kebenaran. Dan Tuhan berjanji Ia akan memuaskan orang yang haus dan lapar akan kebenaran. Namun, untuk merasa haus dan lapar akan kebenaran dengan benar, sehingga mengalami jiwa yang meronta dengan benar, tidak mudah.
Orang yang masih bergelut dengan kesenangan dunia, dengan keinginan dihormati, untuk bisa meraih sebanyak-banyaknya apa yang dunia sediakan untuk dinikmati, maka dia tidak akan memiliki kehausan jiwa. Karena dia haus dengan perkara-perkara dunia. Dan paling jahat, sangat jahat, kalau seorang hamba Tuhan menjadikan keberhasilan pelayanan dan kemegahan gereja menjadi kesukaan. Di situlah liciknya setan menipu para hamba Tuhan. Kebanggaan memiliki acara-acara yang megah, kebanggaan gereja memiliki gedung besar, dengan jumlah jemaat yang banyak, dan berbagai fasilitas, membuatnya meleset sehingga semua perangkat gereja, benda maupun manusia, dipakai bukan untuk kesenangan Tuhan, tetapi bagi kesenangan dirinya sendiri.
Semua hal yang dilakukan bertujuan untuk kemegahan manusia, dan itu yang kita pernah lakukan. Namun, tentu sekarang kita tidak boleh lagi melakukannya. Itu baru satu gejala dari kemerosotan kekristenan yang sedang melanda. Sebenarnya, itu adalah kemerosotan standar kesucian, kemerosotan dari fokus hidup. Coba kita melihat standar yang Alkitab ajarkan, di mana Tuhan Yesus Kristus berkata, “Kumpulkan harta di surga, bukan di bumi.” Perhatikan juga apa yang dikatakan Paulus di Kolose 3:2-4, “Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah. Apabila Kristus, yang adalah hidup kita, menyatakan diri kelak, kamu pun akan menyatakan diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan.”
Namun, berapa banyak di antara kita yang sungguh-sungguh merindukan bertemu dengan Tuhan? Benar, setiap kita punya persoalan. Tetapi, bisakah kita menghargai Tuhan, menghormati Tuhan secara patut? Menghormati Tuhan secara patut berarti memikirkan perkara-perkara yang di atas, dan tidak terikat dengan dunia. Walaupun kita masih hidup di dunia, di mana kita harus bertanggung jawab mencari nafkah, bekerja, tetapi yang penting kita tidak terikat dengan apa pun. Kalaupun kita punya masalah, tetapi kita tidak mendewakan masalah itu, tidak menjadikan masalah itu berhala.
Sebab standar Kristen yang sejati adalah Tuhan kita Yesus Kristus; tidak ada standar lain. Dan Alkitab mengatakan, “Barangsiapa mengatakan bahwa ia ada di dalam Dia, ia wajib hidup sama seperti Kristus telah hidup” (1Yoh. 2:6). Sejujurnya, kalau kita melihat hidup kita, rasanya masih jauh dari standar itu, padahal usia kita bisa saja sudah di atas 50 tahun, atau bahkan di atas 70 tahun. Apa kita bisa mengejar ketinggalan ini? Hal yang mengkhawatirkan yaitu tidak banyak orang yang diarahkan dengan serius sampai ke tingkat ini.
Ada tahun-tahun yang terhilang, di mana kita bercumbu dengan dunia, bercumbu dengan kenikmatan-kenikmatan hobi, bercumbu dengan kenikmatan-kenikmatan film. Maka, kita harus bergaul dengan Tuhan setiap hari dan menghayati kekudusan Tuhan yang luar biasa. Ini bukan sekadar hal yang menyangkut pemahaman logika atau kognitif. Ini sudah di balik hal-hal yang dapat ditangkap dengan nalar. Allah itu luar biasa, dimensi-Nya itu transenden. Kalau kita tiap hari mencari Tuhan, duduk diam di kaki Tuhan, maka kita akan dapat mengerti kedahsyatan Allah. Kita akan memahami apa artinya gemetar di hadapan Tuhan dan memahami betapa Allah itu sungguh mulia dan dahsyat.
Semakin mengenal kebenaran, jiwa kita meronta, sebab kita menyadari betapa keadaan kita masih jauh dari standar yang Tuhan kehendaki.