Nebukadnezar mengakui Allahnya Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego lebih dari semua dewa. Ia bisa melihat jejak Allah yang sangat hidup dan nyata di dalam hidup mereka. Mereka tetap teguh pada integritas percayanya kepada Tuhan, walaupun mereka dapat mengalami kematian. Tentu akhirnya, Tuhan yang menolong mereka selamat dari dapur api. Sungguh kesaksian hidup yang tak terbantahkan, luar biasa penyertaan Tuhan! Kalau kisah hidup kita ditulis, apakah ada jejak Tuhan di situ? Atau jejak yang lain? Orang yang jejak rekam hidupnya tidak disertai Tuhan, tidak mungkin masuk surga. Ketika kita berkomitmen mencari Tuhan lewat khotbah, doa bersama, doa pagi, selalu merenungkan dan menghayati Tuhan, kita tidak mungkin tidak bertumbuh untuk lebih berkenan. Kita tidak mungkin tidak menunaikan pekerjaan Allah.
Seseorang yang berinteraksi dengan Allah, tidak mungkin tidak bertambah lebih kudus. Sebab kalau ia setiap hari berdoa, sulit baginya untuk berbuat dosa. Bisa, tetapi sulit. Orang yang tiap hari datang menyembah Tuhan, berdoa, tidak mungkin dia bisa hidup dalam dosa. Itu tidak mungkin. Orang ini, tidak mungkin tidak bertambah berkenan. Satu hal lagi, tidak mungkin ia tidak dibela oleh Tuhan.
Ketika seorang pendeta atau siapa pun mengesankan seakan-akan dia punya eksklusivitas, keistimewaan di hadapan Allah sehingga dia bisa mengalami Allah, maka jemaat menjadi “mental blok” dan berkata, “Saya tidak bisa. Kalau dia, bisa. Memang dia istimewa.” Jangan berpikir dangkal! Berinteraksi dengan Allah, mengalami Allah itu bukan karunia. Itu hak setiap orang percaya. Allah membuka tangan-Nya, seakan-akan Allah berkata, “Siapa yang mau berjalan bersama-Ku?” Tetapi Allah punya integritas. Orang itu harus memenuhi firman-Nya, “Haus dan lapar akan kebenaran.” Kerinduan kita kepada Tuhan sampai harus menyentuh-Nya. Kita pikirkan Tuhan siang dan malam.
Pasti kalau kita berurusan dengan Tuhan, Tuhan membawa kita ke standar-Nya. Memang bisa membuat kita frustasi, sebab kita tahu apa yang baik, tetapi daging kita sering kali masih menarik-narik kita melakukan apa yang tidak sesuai dengan standar kesucian Allah. Itulah pergumulan, dan itu indah. Mestinya standar hidup yang benar adalah kita hidup hanya untuk menemukan Tuhan. Kita harus seekstrem-ekstremnya, sefanatik-fanatiknya.
Sebesar apa masalah kita? Serumit apa problem yang kita hadapi? Kalau Allah yang besar di pihak kita, karena kita di pihak Dia, apa masalah besar yang tidak bisa diselesaikan oleh Allah? Sejatinya, persoalan apa pun bisa kita selesaikan dengan syarat: berjalan dengan Tuhan. Segala kuasa, kerajaan, dan kemuliaan di dalam tangan Allah yang besar. Kalau kita percaya Allah itu hidup, Allah hadir, Allah nyata, kita harus berusaha menemukan Dia, berinteraksi, berjalan bersama Tuhan. Kita tidak perlu membujuk-bujuk Tuhan, berteriak-teriak minta tolong. Tuhan pasti menolong.
Jadi, apa pun masalah kita, apa pun kebutuhan kita, jawabannya adalah Tuhan. Tuhan punya banyak jalan untuk memberikan kita pertolongan. Tuhan punya banyak cara untuk meloloskan kita dari bahaya. Akhirnya kita tahu betapa Tuhan itu nyata menolong kita. Mungkin kita pernah bimbang atau bingung karena Allah tidak kelihatan dengan kasat mata. Tetapi ingat! Agama lain juga punya dewa dan ilah, yang tidak nyata juga, namun mereka setia. Mereka bisa menunjukkan kesetiaan mereka dengan tetap memercayai ilah, dewa, atau allahnya dan melakukan kewajiban agama mereka.
Allah kita adalah Allah yang menginginkan kita percaya walau tidak melihat. Ini mengasyikkan, di mana Allah seakan-akan memperlakukan kita seperti memperlakukan orang lain yang tidak sungguh-sungguh mencari-Nya. Sejatinya, pasti beda, tidak akan sama. Nanti kita akan melihat tindakan-tindakan Tuhan yang membedakan kita dengan mereka. Cerdas sekali Tuhan menyatakan kehadiran-Nya di dalam hidup kita. Pasti Tuhan membedakan. Tuhan pasti nanti akan bertindak. Tindakan Tuhan itu seperti tidak terbaca orang. Bahkan kita sendiri juga tidak bisa menangkap, kecuali diberi hikmat Tuhan.
Orang-orang yang berjalan dengan Tuhan, cepat atau lambat, kualitasnya akan merekah. Tidak bisa tidak. Memang Tuhan menempatkan kita di dunia ini untuk menjadi terang mewakili Dia. Tuhan mau hadir dan tampil dalam gelanggang dunia ini. Yesus telah naik ke surga, tetapi Ia mau tampil di gelanggang dunia ini di dalam dan melalui hidup kita. Karenanya seperti Rasul Paulus berkata, “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Jadi kalau kita berapologetika atau mempertanggungjawabkan iman kita di depan orang yang tidak seiman, atau yang seiman tetapi tidak dewasa, cukup dengan kalimat: “Yesus pernah hidup. Dia Juruselamat, aku saksi-Nya.” Dengan cara apa? Kita harus memiliki karakter-Nya sehingga hidup-Nya kita hidupi.
Orang yang jejak rekam hidupnya tidak disertai Tuhan, tidak mungkin masuk surga.