Kesempatan-kesempatan berharga yang Tuhan berikan kepada kita harus kita penuhi. Kalau Abraham menolak mempersembahkan Ishak, selamanya tidak pernah ia dikatakan sebagai sahabat Tuhan. Mari sekarang kembali kita bayangkan Petrus yang begitu semangat berjanji untuk setia, tapi pada akhirnya menyangkal Tuhan Yesus. Betapa tragisnya keadaan saat itu. Guru yang dia harapkan akan menjadi raja, malah ditangkap, dihina, diludahi, sehingga harapannya pupus. Jadi, bisa dipahami kalau dia berkata, “aku tidak kenal Dia.” Selain takut, bisa juga karena ia sangat kecewa. Kita mungkin pernah berada pada keadaan seperti itu, atau saat ini kita sedang dalam keadaan takut dan kecewa seperti yang Petrus alami. Kita sudah serius, tapi seakan-akan Tuhan tidak menghargai dan tidak menolong kita, kita juga merasa sendirian.
Ingatkah kita dengan kisah Stefanus ketika ia diadili oleh Mahkamah Agama? Dalam Kisah 7:55 dikatakan, “Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah.” Dalam keadaan terjepit karena imannya dipersalahkan, Stefanus melihat Yesus berdiri. Yesus hanya berdiri, seakan-akan tidak berbuat apa-apa untuk menolong dia, bahkan sampai akhirnya ia mati dilempari batu. Ketika seakan-akan Tuhan diam dan tidak menolong kita—ketika seakan-akan semua keadaan memojokkan kita—justru di situlah Tuhan sedang memercayai kita, yaitu Ia tahu bahwa kita sanggup melewatinya. Demikian juga Sadrakh, Mesakh, dan Abednego. Ketika mereka menolak menyembah patung Nebukadnezar, mereka diancam akan dimasukkan ke dalam dapur api yang panasnya tujuh kali lipat dari biasanya (Dan. 3:17-18). Apakah mereka menyerah? Tidak! Apakah kita bisa sekonsisten mereka? Sanggupkah kita sekarang berkata: “sekalipun Tuhan tidak menolong aku, aku tetap percaya kepada-Nya.” Memang mudah menyuarakan kalimat itu pada saat semua keadaan baik, sesuai dengan harapan. Namun, justru pada saat terjepit seperti mereka, iman kita teruji.
Kalau kita menyadari bahwa semua berkat yang diberikan adalah sebagai suatu kepercayaan, maka kita tidak akan menggunakan berkat Tuhan dan kelebihan-kelebihan yang kita miliki tersebut untuk kesenangan sendiri. Kita akan menggunakannya secara benar dan bertanggung jawab. Banyak gereja dan pendeta hanya mendoakan jemaat agar diberkati berlimpah-limpah, dan mengajar jemaat meminta berkat Tuhan agar sukses dan berhasil dalam bisnis dan kariernya, tetapi tidak mengajar mereka untuk menjadi orang kepercayaan Tuhan. Sehingga, banyak jemaat yang tidak pernah menjadi dewasa. Berani mengaku sebagai anak Abraham, berarti berani memiliki penglihatan ke depan seperti yang dimiliki Abraham, yaitu kota yang mempunyai dasar, yang direncanakan dan dibangun oleh Allah sendiri. Anak-anak Abraham oleh iman harus mempersoalkan hal-hal surgawi, bukan perkara-perkara duniawi, yaitu keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus.
Jangan karena Abraham kaya secara materi, maka orang Kristen boleh mengklaim bahwa mereka bisa menjadi kaya secara materi seperti dia. Tuhan memberkati Abraham dengan berkat materi, sebab Tuhan harus melindungi “sosok” Abraham ini secara khusus demi rencana besar Tuhan menyelamatkan dunia. Kalau seseorang hidup dalam ambisi dan keinginannya sendiri atau tidak dewasa rohani kemudian menuntut “berkat Abraham” yaitu berkat materi, betapa kurang ajar sikap ini terhadap Tuhan. Tuhan sangat ingin kita ada di samping-Nya selalu. Tapi untuk menjadi sahabat bagi Tuhan yang selalu berada di samping-Nya, ada satu syarat, yaitu hidup hanya untuk kepentingan Tuhan dan Kerajaan-Nya. Kalau seseorang memikul rencana Allah bagi penyelamatan dunia ini, pasti Tuhan memberi proteksi-Nya secara khusus.
Memasuki kehidupan menjadi sahabat Tuhan, kita harus berani melepaskan semua kesenangan hidup; walau tentu kita harus melewati tahapan-tahapan. Kita harus benar-benar bergumul untuk bertumbuh dan mengerti apa artinya menjadikan Tuhan sebagai sahabat jiwa kita. Kita harus mengakui dengan jujur bahwa kita sering tidak setia. Untuk ini, kita bersyukur atas kesetiaan dan kesabaran-Nya. Coba bayangkan, apa reaksi Tuhan ketika nanti kita bertemu muka dengan muka? Untuk hal ini, kita harus mempersoalkannya sejak sekarang. Kalau hari ini kita bisa berpura-pura di hadapan manusia, kita tidak bisa berpura-pura di hadapan takhta pengadilan Tuhan nanti. Jangan main-main dengan Allah yg hidup. Sudah terlalu lama kita menjadi Kristen yang berpura-pura. Atau mungkin, kita tidak bermaksud berpura-pura. Tapi karena kita masih ada keinginan mata, keinginan daging, dan keangkuhan hidup, kita tidak bisa terbang. Selagi masih ada kesempatan, mari kita berubah. Jangan takut untuk berbeda dengan yang lain, asalkan kita berkenan di hadapan-Nya.
Jangan takut untuk berbeda dengan yang lain, asalkan kita berkenan di hadapan-Nya.