Di dalam Matius 5:6, Tuhan Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.” Kita pasti percaya dan menerima bahwa Allah Mahatahu. Di dalam kemahatahuan Allah, Allah tahu apa yang ada di kedalaman hati kita dan keadaan kita seutuhnya, sesempurna-sempurnanya. Allah bisa dan memang mengenal kita, lebih dari kita mengenal diri kita sendiri. Tuhan melihat seberapa kita memiliki kehausan, lapar akan kebenaran. Tentu “kebenaran” ini jangan dipahami sebagai “pengetahuan” yang distempel atau diberi label sebagai kebenaran.
Kita yang selama bertahun-tahun mengaku sebagai pecinta Suara Kebenaran, kita tanpa sadar sering merasa telah mengetahui dan memiliki banyak kebenaran, merasa memiliki kebenaran lebih dari orang lain. Memang bisa saja begitu, tetapi apakah benar kita memahami maksud kebenaran? Bukan sekadar pengetahuan mengenai hal-hal yang termuat dalam Alkitab, yaitu pengertian-pengertian rohani dari Alkitab yang kita beri label “kebenaran.” Kebenaran harus kita pahami sebagai keadaan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah.
Meskipun mengerti banyak kebenaran, belum tentu kita berkeadaan sesuai dengan apa yang Allah inginkan. Ini penting untuk semua, juga untuk para hamba Tuhan. Kiranya Tuhan mencerahi pikiran kita untuk mengerti benar keadaan diri atau keadaan hidup kita sesuai dengan kehendak Allah. Tentu keadaan masing-masing kita berbeda, dan Tuhan juga tidak akan menuntut apa yang kita tidak bisa lakukan. Tetapi sesuai dengan usia rohani kita, hendaknya kita memenuhi standar yang Allah inginkan, sehingga keadaan itu memuaskan hati Allah.
Anak umur 1 tahun bisa memanggil orang tuanya “Papa,” itu memuaskan. Tetapi kalau sudah umur 5-6 tahun, panggil “Papa” tidak bisa, ini mendukakan. Usia 2 tahun berlari menabrak ke sana-sini, lari ke sana-sini; tidak fokus, sangat dimaklumi karena biasanya baru bisa lari. Tetapi kalau sudah umur 7-8 tahun seperti itu, biasanya ada yang tidak beres dengan perkembangan mentalnya. Keadaan kita harus sesuai dengan apa yang Allah inginkan, dan harus bisa memuaskan hati-Nya.
Allah Bapa tidak membutuhkan apa pun dan tidak perlu siapa pun, sebenarnya. Tetapi kalau Allah berkehendak menciptakan manusia yang diangkat, diakui sebagai anak, berkeadaan segambar, serupa dengan diri-Nya, lalu bisa melakukan apa yang Bapa kehendaki, itu yang menyenangkan Dia. Itu rezekinya Allah, itu makanan, hidangan, santapan. Kalau musik, itu musik indah yang enak didengar. Kalau penciuman, itu keharuman yang dicium.
Allah tidak menuntut seseorang melampaui kekuatan orang itu, tetapi harus terus progresif sesuai dengan umur atau usia rohani orang tersebut. Siapa yang bisa tahu ini? Tuhan. Kita tidak bisa menilai orang lain. Maju atau mundur, tidak bisa. Masing-masing orang memiliki pergumulan hidup dengan Tuhan secara spesifik dan khusus. Kita harus benar-benar memeriksa diri kita sendiri, apakah kita telah berkeadaan sesuai dengan yang Allah kehendaki dari waktu ke waktu dan bertahap? Seiring dengan perjalanan waktu dan pertumbuhan rohani, maka Bapa disenangkan.
Dulu jika kita dijahati orang, masih kesal, tetapi kita tidak membalas dendam. Tuhan senang, masih maklum. Masih kesal, tetapi tidak balas dendam, itu sudah cukup memuaskan hati Allah. Nanti-nanti, tidak kesal dan tidak membalas dendam, tetapi belum bisa mendoakan. Nanti bisa tidak kesal, bisa mendoakan, bahkan bersyukur atas keadaan itu. Suatu hari ketika kita bertemu dengan Tuhan yang Mahaagung dan Mahamulia, kita bisa mengerti betapa indahnya momentum ketika Tuhan bisa tersenyum; Tuhan dipuaskan oleh keadaan kita. Betapa indahnya momentum itu, karena itu menjadi aset kekal, kekayaan abadi kita.
Kepada semua pecinta Suara Kebenaran, jangan sombong jika kita bisa bicara mengenai kebenaran, bisa mengoreksi orang, bisa menganalisis kebenaran-kebenaran yang begitu tajam dan dinilai lebih unggul dari paparan teologi atau khotbah orang. Tentu kesombongan seperti itu pernah kita miliki, dan kita harus bergumul untuk menanggalkannya. Merasa lebih benar, lebih mengerti, standar khotbahnya lebih tinggi dari orang lain. Tetapi, apakah kita sudah menyenangkan Tuhan, memuaskan hati-Nya?
Kita harus benar-benar memperkarakan hal ini. Kalau kita memperkarakan hal ini, kita tidak banyak analisis dan menghukum orang atau menghakimi. Kita punya discerning spirit; membedakan roh. Pasti, secara otomatis kita memilikinya. Dengan keahlian seseorang, misalnya dia bisa mengetahui apakah ini emas murni atau emas palsu. Dengan keahlian seorang dalam arloji, dia tahu “Ini palsu, ini benar.” Itu otomatis. Seperti pemusik, tahu nada fals atau tidak, secara otomatis. Kita tidak bermaksud untuk menganalisis, tetapi otomatis langsung tahu dan menilai. Meskipun kita tahu, tetapi kita tidak menghakimi, tidak menghukum, dan tidak mencela. Kita diam.
Jangan sombong! Meskipun mengerti banyak kebenaran, belum tentu kita berkeadaan sesuai dengan apa yang Allah inginkan