Skip to content

Jangan Setengah-setengah

 

Alkitab sudah membuktikan bahwa orang yang sungguh-sungguh berurusan dengan Allah—dalam arti berurusan positif, mengikut jalan Tuhan—pasti diberkati, pasti tidak dipermalukan. Jadi, kita jangan setengah-setengah. Sebab Tuhan tidak kompromi dengan orang yang setengah-setengah. Kalau Tuhan berkata, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada dua tuan,” itu artinya kita 100% untuk-Nya atau tidak usah sama sekali. Ini yang benar: “Kasihilah Tuhan Allahmu—bukan separuh, apalagi seperempat—dengan segenap hatimu, segenap jiwamu, segenap akal budimu, dan segenap kekuatanmu.” 

Coba kita perhatikan bencana-bencana alam yang terjadi di dunia; angin tornado, banjir, gempa bumi, tsunami, atau kecelakaan-kecelakaan besar yang terjadi. Dengan melihat hal-hal itu, kita jadi melek, manusia itu bukan siapa-siapa dan tidak bisa berbuat apa-apa kalau sudah menghadapi bencana. Apalagi kalau kita membaca 2 Petrus 3:9-11, di mana unsur-unsur di udara akan terbakar dalam nyala api. Kok manusia bisa tidak takut? Ini bukan mengintimidasi atau menakut-nakuti, namun memang kita harus ‘takut.’ Oleh sebab itu, jangan setengah-setengah. Kita sekarang punya prinsip baru: siang malam memikirkan Tuhan. Harus seekstrem-ekstremnya. 

Kita harus berani berkata seperti Musa berkata ketika Tuhan mau meninggalkan bangsa Israel karena bangsa itu keras kepala, “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” Jangan sombong. Modal uang itu bukan segalanya. Modal relasi, koneksi, pejabat, aparat keamanan juga bukan segalanya. Tidak ada yang bisa menjanjikan, kecuali Tuhan. Kita siang malam memikirkan Tuhan, maksudnya apa pun yang kita lakukan itu tidak melawan kehendak Tuhan. Ketika kita tidak mengurus keluarga dengan baik, kita melawan kehendak Tuhan. Atau kita tidak rajin bekerja, kita melawan kehendak Tuhan. 

Siang malam memikirkan Tuhan itu sama artinya dengan “baik kamu makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Tuhan.” Ini sudah zamannya kita keluar memisahkan diri dari dunia. Kita memang masih ada di dunia, tapi pikiran kita tidak terikat dengan dunia, cara hidup kita berbeda, gaya hidup kita berbeda. Setan takut terhadap prinsip-prinsip hidup dan filosofi seperti ini. Setan tidak takut kita jadi aktivis gereja, rajin ke gereja, bahkan sekalipun kita jadi pendeta. Tapi setan gentar kalau kita sampai memisahkan diri dari dunia dengan cara hidup Anak Allah. 

Maka, hidup Yesus bukan hanya dipelajari di atas kertas, menjadi doktrin atau ajaran. Hidup Yesus harus dikenakan untuk membuktikan bahwa Yesus yang kita miliki adalah Yesus yang benar. Maka, hati-hati dengan hidup kita—perkataan, keputusan, cara menggunakan uang, segala tindakan perbuatan kita—sebab kita harus mewakili Tuhan. Mewakili Tuhan itu bukan hanya waktu kita khotbah di mimbar, pada waktu kita mendoakan orang atau konseling, melainkan di setiap langkah yang kita lakukan. Dan ini yang Tuhan kehendaki, dan itu menunjukkan keseriusan kita dengan Tuhan. Tidak ada bagian hidup untuk yang lain, hanya untuk Tuhan.

Ketika seseorang jatuh cinta, bau apa pun yang ada padanya, jadi enak. Kenapa kita tidak membuat hati kita kasmaran dengan Tuhan? Kenapa kita tidak membaui keharuman Tuhan dan berkata, “Ini yang aku suka, aku mau mencium keharuman-Nya.” Sementara kita makin tua, waktu hidup kita makin pendek, kita akan menghadap Tuhan, namun masih saja kita memberi ruang hati untuk banyak hal. Kita harus melekat dengan Tuhan. Siang malam memikirkan Tuhan, sampai kita benar-benar mengalami Tuhan. Kalau kita belum gila di mata dunia, berarti kita belum waras di mata Tuhan. Paulus pun dikatai gila. Yesus pun dikatai gila. Memang kita tidak boleh nyentrik, kita tetap harus hidup wajar dan santun, hidup bermasyarakat dengan baik, tetapi kita harus serius memiliki fokus kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.

Jadi pada intinya kita harus memiliki kehidupan yang benar-benar berpusat pada Allah. Dan itu tidak mudah. Banyak orang Kristen yang tubuhnya di gereja, tapi pikirannya sebenarnya masih terparkir di dunia. Ibarat pesawat, dia masih di landasan parkir, bukan landasan pacu. Mestinya kita sudah lewat landasan pacu, dan terbang. Itulah sebabnya di Lukas 17, Yesus berkata, “Ingatlah akan istri Lot.” Apa yang diingat dari istri Lot? Tiang garam, dia menoleh ke belakang. Tubuhnya sudah keluar dari kota Sodom, tapi hatinya masih di kota Sodom. Jangan kita seperti itu.