Tanpa disadari, orang sering memahami kata binasa sekadar lenyap atau hilang. Ini pengertian yang tidak tepat. Binasa artinya tidak memiliki nilai sama sekali, tidak berarti. Bagaimana seseorang dapat dikatakan tidak bernilai? Yaitu kalau seseorang terpisah dari Allah dan tidak mendapat kesempatan lagi untuk diperdamaikan dengan Allah. Keadaan di mana seseorang tidak mendapat kesempatan lagi untuk diperdamaikan dengan Allah, terpisah dari hadirat Allah, atau terhilang dari hadirat Allah, merupakan kedahsyatan yang luar biasa, keadaan yang tidak terbayangkan, kedahsyatan yang dahsyat dan mengerikan. Tetapi, fakta ironis yang kita lihat dan kita temukan hari ini, banyak orang tidak takut terhadap realitas tersebut.
Bukan hanya orang ateis yang tidak percaya adanya Allah, yang tidak percaya adanya Tuhan, yang tidak percaya kitab suci yang diwahyukan oleh Allah, tetapi orang Kristen sendiri atau orang-orang beragama tidak benar-benar memiliki kegentaran, tidak memiliki ketakutan terhadap realitas terpisah dari hadirat Allah selama-lamanya itu. Lebih miris lagi, kalau di lingkungan gereja ada aktivis, bahkan pendeta yang tidak memiliki kegentaran yang proporsional, kegentaran yang benar terhadap realitas terpisah dari hadirat Allah itu selamanya.
Pertanyaannya, mengapa orang tidak memiliki perasaan gentar dan takut yang proporsional terhadap realitas terpisah dari Allah itu? Mengapa? Karena memang sejak hidup di bumi, ketika jantungnya masih berdetak, ketika nadinya masih berdenyut, ketika masih memiliki nafas, dia tidak menghayati betapa menyakitkan, betapa kosongnya seseorang yang tidak memiliki persekutuan dengan Allah. Hal ini disebabkan karena ruang hatinya telah diisi oleh berbagai kesenangan dunia, selera jiwanya telah dirusak oleh pengaruh dunia, sehingga kehausan jiwanya tidak ditujukan kepada Allah, tetapi ditujukan kepada dunia.
Alkitab berkata, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semua akan ditambahkan kepadamu,” artinya memang Kerajaan Allah harus diprioritaskan. Jangan ada unsur lain yang diprioritaskan yang mengisi ruangan hati kita dan membentuk selera jiwa kita sehingga kita tidak merasakan sakitnya, kosongnya, kalau tidak memiliki persekutuan yang benar dengan Allah. Sesatnya kehidupan banyak orang hari ini adalah merasa sakit, kosong jiwanya kalau tidak memiliki rumah pribadi, tidak memiliki teman hidup, belum memiliki keturunan, tidak terhormat, dihina orang. Ini pikiran yang sesat.
Kata ‘hidup kekal’ dalam Matius 19:6 (“Apa yang harus kulakukan supaya aku beroleh hidup yang kekal?”) sebenarnya bukan hanya menunjuk kehidupan terus-menerus nanti di surga. Hal ini yang membuat orang-orang Kristen atau orang-orang beragama, tidak merasa membutuhkan Tuhan sekarang ini. Mereka membutuhkan Tuhan nanti kalau sudah mati, di surga, karena tidak ingin masuk neraka. Bicara mengenai kekekalan itu bukan hanya ada di surga, tetapi terpisah dari Allah itu juga kekal karena sudah tidak ada kesempatan lagi direkonsiliasi atau dipulihkan. Hidup kekal juga menunjuk kehidupan hari ini, yaitu kehidupan yang berkualitas, kehidupan yang bermutu.
Jadi, kalau orang kaya ini berkata, “Apa yang harus kuperbuat supaya aku memperoleh hidup yang kekal?” maksudnya adalah, “Apa yang harus kuperbuat supaya hidupku berkualitas?” Kapan? Sekarang, sejak hidup di bumi, bukan nanti. Itulah sebabnya, jawaban Tuhan Yesus adalah, “Lakukan hukum. Hormati orang tuamu, jangan membunuh, jangan berzina, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta…” dan seterusnya. Kalau dalam kehidupan bangsa Israel, standar hidup bersekutu dengan Elohim Yahweh adalah melakukan hukum dan menjalankan ibadah sesuai dengan apa yang diajarkan Musa. Itu yang disebut dengan hidup yang berkualitas.
Rupanya orang ini sudah memiliki hidup yang berkualitas, menurut ukuran orang beragama atau menurut ukuran orang-orang Yahudi. Maka orang ini berkata, “Semuanya itu telah kuturuti, …” Jadi, secara hukum, secara agamani, ditinjau dari perspektif Yahudi, ia sudah berkualitas, tetapi dia merasa kurang. Selanjutnya Tuhan mengatakan, “Jikalau engkau hendak sempurna, …” Ini sebuah kualitas yang lebih tinggi dari kualitas orang beragama; lebih dari kualitas agama Yahudi (agama samawi), “Jual segala milikmu.” Kapan? Ya, sekarang. “Berikanlah kepada orang miskin.” Kapan? Sekarang. “… maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku.” Kapan? Sekarang. Maka, jangan menunda dalam mengusahakan untuk memiliki hidup yang berkualitas, sebab penundaan itu yang menyebabkan kebinasaan.
Jangan menunda untuk memiliki hidup yang berkualitas,
sebab penundaan menyebabkan kebinasaan.