Dalam kehidupan orang percaya, kita dapati ada orang-orang yang tidak rela meninggal dunia, karena mereka tidak merasa ada dunia lain yang bisa dinikmati atau dijalani dan menjadi keindahan. Sebab, hampir semua orang merasa bahwa dunia inilah satu-satunya kehidupan yang dapat dijalani dan dinikmati. Sehingga, mereka tidak rela meninggal dunia. Kalaupun pada akhirnya mereka rela meninggal dunia, sering hal itu karena sudah tua, sakit-sakitan, lalu tidak memiliki harapan. Ini sebenarnya kerelaan yang terpaksa. Jadi, bukan kerelaan yang natural. Mereka pun sudah tidak bisa bertobat, tidak bisa berubah, dan tidak memiliki pengharapan. Di dunia ini sudah tua dan sakit-sakitan, belum lagi dirongrong dengan masalah anak cucunya. Sungguh ironis. Tapi bagi orang tua yang telah menjalani hidup bersama dengan Tuhan, bisa saja ia sakit-sakitan atau juga banyak masalah keluarga, tetapi dia memiliki pengharapan. Pengharapan di dalam Kerajaan Surga, pengharapan di dunia yang akan datang. Maka, kerelaannya untuk meninggal dunia adalah kerelaan yang baik, yang benar, yang natural, yang kudus.
Jadi, sebelum kita menjadi tua dan tidak bisa diubah lagi—bebal, keras kepala, dan tegar tengkuk—sejak jauh-jauh hari, kita harus mau ditegur, mau diingatkan, dan mau berubah. Demikian pula dengan orang-orang yang kaya. Jangan salah mengerti, bukan berarti orang kaya tidak bisa masuk surga. Tuhan tidak berkata “tidak bisa masuk surga,” tetapi “sukar.” Membutuhkan kenekatan atau perjuangan yang tulus dari kehendak bebasnya. Tetapi, kita yang hari ini berada dalam kondisi kesulitan ekonomi, dalam penderitaan berbagai masalah, kita berpotensi lebih besar untuk memikirkan perkara-perkara yang di atas. Dan memang secara psikologi, dengan keadaan kita yang menderita di bumi ini—entah masalah keuangan, entah masalah pekerjaan, keluarga, dan lain-lain—itu merupakan suasana kondusif yang membuat kita bisa memikirkan perkara-perkara yang di atas. Suasana yang kondusif artinya suasana yang mendukung tercapainya tujuan. Dalam hal ini, Tuhan dan Kerajaan-Nya sebagai tujuan.
Tetapi bukan juga berarti bahwa orang yang banyak masalah, otomatis pasti masuk surga. Mereka “berpotensi” lebih mudah masuk surga, bukan “pasti” masuk surga. Kalau pribadi orang tersebut—yang walaupun sudah menderita, sudah banyak kesulitan—masih saja serakah, masih mau saja menikmati dunia ini, ini berbahaya. Orang miskin yang ingin kaya, itu berbahaya. Mengapa berbahaya? Karena dia juga sama dengan orang kaya yang sukar masuk surga. Jadi, mestinya kita bersyukur dengan apa yang ada pada kita hari ini, walaupun kita sedang berada di tengah kesulitan hidup. Kita tetap memancangkan perhatian kita ke langit baru bumi baru. Jangan berbuat dosa. Dalam segala hal, kita mau hidup benar-benar di dalam kesucian. Di tengah-tengah dunia yang tidak menjanjikan ini, tetap kita bekerja keras, mencari nafkah, tidak malas, tidak malu melakukan pekerjaan apa pun, yang penting tidak melanggar etika kehidupan demi bisa hidup melangsungkan hidup dari hari ke hari. Itu cukup, jalani saja. Kalau anak atau saudara yang kita kasihi sakit atau dalam keadaan terancam, berapa pun akan kita bayar. Kita tidak membatasi—termasuk harga diri pun kita rela korbankan—asalkan orang yang kita kasihi dapat sembuh atau terbebas dari masalah. Ingat, ketika Yakub dikabarkan bahwa anaknya Yusuf mati dicabik-cabik binatang buas—padahal sebenarnya Yusuf dijual kepada pedagang budak ke Mesir—Yakub seperti masuk liang kubur, habis hidupnya. Perasaan seperti itu mungkin pernah kita alami, dan kita rela berbuat apa pun demi anak atau demi orang yang kita kasihi. Mengapa untuk Kerajaan Surga kita tidak berani berbuat demikian?
Maka, jangan menarik hari kemarin pada hari ini, dan jangan menarik hari esok untuk hari ini. Seperti Firman Tuhan katakan, “kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini.” Kesulitan, kepahitan, kepedihan yang telah kita alami di waktu-waktu kemarin dan semua kejadiannya, tidak boleh menghanyutkan kita. Kita jalani saja padang gurun hidup kita, karena pasti ada air di sana. Kita jalani hidup ini dengan segala pergumulannya. Dengan hidup kita yang terus bertumbuh—di dalam kedewasaan rohani, bertumbuh di dalam kesucian—kita baru memiliki kerelaan meninggal dunia. Sekarang, Tuhan yang mengajar, “Apa gunanya engkau memperoleh segenap dunia kalau jiwamu binasa?” Kita bersyukur kalau kita bisa merenungkan hal ini; bisa menghayati hal dan menyadari betapa hebat Kerajaan Surga itu. Sehingga kita bisa rela kehilangan apa pun demi Kerajaan Surga.
Di tengah-tengah dunia yang tidak menjanjikan ini, tetap kita bekerja keras, mencari nafkah, tidak malas, tidak malu melakukan pekerjaan apa pun, yang penting tidak melanggar etika kehidupan demi bisa hidup
Melangsungkan hidup dari hari ke hari. Itu cukup, jalani saja.