Skip to content

Hubungan

Saudaraku,

Hubungan kita dengan Pencipta langit dan bumi, Allah semesta alam yang Mahadahsyat adalah hubungan Bapa dan anak. Maka mari kita kembali mengevaluasi, apakah benar dalam berinteraksi antara kita dengan Allah itu adalah interaksi Bapa dan anak? Dalam agama-agama pada umumnya, hubungan antara allah atau dewa yang disembah dan umat yang menyembah sering ada unsur transaksional; unsur jual beli. Dewa atau ilah menginginkan sesuatu, dan umat dituntut untuk memenuhi apa yang diingini oleh sang dewa atau sang allah atau sang ilah. Kalau dipenuhi, maka umat menerima ganjaran,upah, berkat dan perlindungan. Tapi kalau umat tidak memenuhinya, maka dihukum, dikutuk, ditulahi, dilaknati.

Itu adalah hubungan transaksional. Maka tidak jarang umat berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan “korban persembahan” yang diminta sang dewa. Di situ tanpa kita sadari atau tanpa mereka sadari dikesankan, bahwa ilah atau dewa mereka itu membutuhkan sesuatu yang harus dipenuhi oleh umat. Dan bisa juga menimbulkan kesan bahwa itu tidak bisa dilakukan oleh allah atau ilah atau dewa sendiri. Dan tanpa disadari, suasana ibadah seperti itu bisa merasuk dalam hidup kita. Bisa karena orang tua kita dulu bukan orang Kristen, atau bisa juga mereka orang Kristen tapi kita melihat suasana ibadah penyembahan agama-agama di sekitar kita.  Ini sangat merugikan dan bisa membahayakan kita.

Coba kita renungkan, bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, Ia sudah ada, dari kekal sampai kekal. Tak terhitung berapa triliun abad.  Dia tidak membutuhkan siapa-siapa. Dia tidak membutuhkan apa-apa. Ia eksis tanpa diciptakan, tanpa dilahirkan. Itu misteri yang tidak pernah terpecahkan selama-lamanya. Tetapi Dia berinisiatif melahirkan anak. Dan anak pertama yang dilahirkan adalah Adam. Di dalam Alkitab ditulis beberapa kali, bahwa Adam itu anak Allah (Luk. 3:38). Allah menjalin hubungan dengan ciptaan ini dalam hubungan Bapa dan anak. Ini desain awal. Maka Adam dirancang untuk memiliki keberadaan seperti diri-Nya. Segambar: memiliki pikiran, perasaan, kehendak dan kehendaknya bebas.

Dikehendaki untuk serupa. Artinya, Adam bisa memiliki kehendak atau mampu memiliki kehendak yang selalu sesuai dengan Bapa, tanpa dipaksa. Tetapi itu tidak bisa diciptakan oleh Allah secara otomatis dalam diri Adam. Adam harus membangun dirinya sendiri, sehingga menjadi anak yang taat, yang dengar-dengaran. Ujiannya, jangan makan buah yang ada di tengah taman Eden. Adam gagal, Saudara.  Sehingga hubungan antara anak dan Bapa itu menjadi rusak. Lalu, Allah melahirkan Anak Kedua. Yesus disebut Adam terakhir. Adam kedua ini, yang melewat ujian tahap demi tahap, lulus. Ibrani 5:7-9 dan Roma 8:28-29 mengatakan bahwa Yesus belajar taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib. Maka Dia menjadi yang sulung, penggubah. 

Mestinya Adam yang pertamalah yang menjadi menjadi penggubah, tapi Adam pertama gagal. Jadi, Adam Kedua (Yesus) inilah manusia pertama yang sukses menjadi Anak Allah. Memiliki hubungan dengan Allah sebagai Bapa dan Anak. Nah, kalau sekarang kita percaya Tuhan Yesus, kita menjadi anak-anak Allah, itu dimaksudkan agar kita berkeadaan seperti Yesus yang memiliki hubungan dengan Allah sebagai Bapa dengan anak secara proper, secara benar; tidak ada unsur transaksional. Maka mari kita sekarang memeriksa diri kita: apakah hubungan kita dengan Sang Pencipta itu sudah benar?

Sejujurnya, tidak mudah memiliki hubungan dengan Allah sebagai Bapa dan anak dengan benar. Kesulitannya adalah karaker kita yang buruk, sehingga kita sulit menempatkan diri sebagai anak. Kita punya kecendrungan bersalah. Bersalah atau berdosa dalam bahasa Yunaninya, hamartia (meleset). Kata hamartiaitu sendiri secara etimologi, tidak ada unsur kejahatan, hanya meleset. Tapi meleset juga sudah salah. Tidak harus berbuat sesuatu yang melanggar hukum yang dikatakan melanggar moral. Tidak tepat seperti yang Allah Bapa inginkan itu sudah meleset. Nah itulah sulitnya menjadi anak-anak Allah adalah karena kita cenderung meleset. Kita tidak mencuri, korupsi, berzina, membunuh, atau melanggar hukum secara umum, tapi kalau tidak tepat hidup sesuai pikiran perasan Allah berarti meleset.

Ayo, kita mau hidup suci. Bapa akan mendidik kita (Ibr. 12:5-8). Saudara harus memberi diri dididik Tuhan. Maka ke gereja, berdoa, mendengar Firman tiap hari tidak boleh absen. Merubah watak harus diperjuangkan. Kalau tidak, berarti Saudara memang tidak niatmenjadi anak-anak Allah. Tanpa sadar kita disesatkan oleh pola pikir agama yang bukan kebenaran Alkitab. Yang penting ke gereja, memberikan persembahan dan mengira Tuhan senang; tidak!Tuhan senang kalau setiap hari kita mengalami prose perubahan karakter, supaya kita bisa memiliki interaksi hubungan dengan Allah seperti hubungan Yesus dengan Bapa.

Teriring salam dan doa,

Dr. Erastus Sabdono

Tuhan senang kalau setiap hari kita mengalami prose perubahan karakter, supaya kita bisa memiliki interaksi hubungan dengan Allah seperti hubungan Yesus dengan Bapa.