Skip to content

Hidup yang Memancarkan Kemuliaan

Kalau kita benar-benar memercayai bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah yang hidup, yang nyata, dan Mahahadir, maka keyakinan tersebut pasti akan terpancar nyata dalam hidup; yang bisa dilihat dan dirasakan orang di sekitar kita. Sejujurnya, ada orang-orang yang bingung dan bisa frustrasi. Baik orang di luar gereja, maupun orang di dalam gereja, ketika melihat orang Kristen yang kelihatannya aktif dalam kegiatan pelayanan—apakah dia seorang jemaat yang rajin ke gereja, apalagi kalau menjadi aktivis, terlebih lagi kalau menjadi rohaniwan atau pendeta—tetapi tidak memancarkan kehidupan yang membuktikan bahwa Allah ada dalam hidupnya. Kehidupan mereka tidak memancarkan bahwa Allah itu hidup, nyata, dan hadir dalam hidup mereka.

Orang bisa menjadi bingung dan bertanya-tanya, “Tuhan macam apa yang dimiliki orang ini, sehingga keyakinan yang dimilikinya tidak berdampak?” Memang ada orang-orang yang tidak bingung—khususnya orang di luar gereja—dan bisa berkata, “Masa bodoh, itu bukan urusanku.” Apalagi ketika mereka juga memiliki keyakinan dan memandang agama Kristen itu sesat, agama yang salah. Mereka bisa malah senang melihat realitas itu. Sebab mereka bisa memiliki semacam verifikasi, penegasan, pembuktian bahwa memang Allahnya orang Kristen itu salah, agama Kristen itu keliru. Yang akan lebih bingung dan bisa frustrasi adalah jemaat yang melihat orang rajin ke gereja—apalagi menjadi aktivis, atau pendeta—tetapi hidupnya tidak memancarkan kehidupan yang membuktikan bahwa Allah itu ada. 

Tentu ada juga orang-orang Kristen yang tidak frustrasi, karena mereka tidak memiliki standar. Kalaupun mereka menghormati pendeta, aktivis atau orang Kristen yang rajin ke gereja, penghargaannya itu didasarkan pada aktivitas, kegiatan gerejani semata. Tetapi orang-orang Kristen yang belajar untuk hidup benar, sungguh-sungguh mencari Tuhan dan mau hidup berkenan di hadapan Tuhan, mereka bingung. Bahkan bisa frustrasi. Mereka bertanya-tanya, “Apa yang dapat kuperoleh dari orang-orang yang mestinya menjadi teladan, contoh, memancarkan kemuliaan Allah, memancarkan kehadiran Tuhan?” Sampai-sampai mereka berkata, “Omong kosong semua ini.” 

Lebih frustrasi lagi kalau papa mamanya aktif di gereja, apalagi sebagai pendeta atau Gembala Sidang. Kefrustrasian tersebut bisa diwujudkan dengan hidup sembarangan. Maka tidak heran jika anak aktivis, anak pendeta mengonsumsi narkoba, hidup dalam pergaulan bebas, dan lain sebagainya. Hal itu karena mereka tidak “tergarami.” Kiranya ini menjadi peringatan untuk kita semua. Terutama untuk para rohaniwan—apalagi sebagai Gembala Sidang—ada harga yang harus dibayar dan mahal sekali. Kita harus menjaga kehidupan agar tidak menjadi batu sandungan. 

Tentu saja setan atau kuasa kegelapan mengerti bagaimana seseorang dijadikan batu sandungan. Misalnya warna kita putih, tetapi dihembuskan warnanya merah. Ini yang namanya character assassination; pembunuhan karakter. Seorang hamba Tuhan tidak boleh takut sama sekali terhadap character assassination. Yang penting, dia benar. Makin benar, pasti makin dibela Tuhan, dan akan dibimbing untuk hidup lebih benar. Hal itu adalah berkat. Waktu akan membuktikannya. 

Maka, kalau kita ingin anak-anak kita menjadi rohani, takut akan Allah, kita harus memancarkan kehadiran Allah dalam hidup kita. Anak bisa menjadi peta atau potret dari kehidupan orang tuanya. Tahukah kita bahwa bulan itu sebenarnya tidak memiliki cahaya? Kalau kita melihat bulan bercahaya, itu hanya memancarkan terang yang diterima dari matahari. Seseorang yang benar-benar berinteraksi dengan Allah, maka dia akan memancarkan terang Allah. Kita mewarisi kekristenan yang meleset, karena tidak serius memperkarakan apakah hidup kita telah memancarkan terangnya Tuhan atau tidak. 

Sebaliknya, manusia yang serupa dengan dunia ini akan memancarkan warna dunia. Dari penampilan, sikap, perkataan, apa yang dikenakan, gaya hidup, dan perilaku. Firman Tuhan mengatakan di dalam Roma 12:2 agar kita tidak serupa dengan dunia ini. Sebaliknya, kita harus serupa dengan Allah, serupa dengan Tuhan. Dulu kita serupa dengan dunia, kita mewarisi dan menyerap spirit dunia, yang terekspresi dari perilaku kita. Kalau marah, kita mengumpat, bersungut-sungut, mengatai orang, membalas dendam kalau disakiti, dan lain sebagainya. Tetapi kita sekarang harus serupa dengan Tuhan, bukan dengan dunia. Oleh sebab itu, kita harus sungguh-sungguh mencari Tuhan. 

Pergi ke gereja bukan berarti sudah mencari Tuhan secara penuh; itu baru sebagian usaha kita mencari Tuhan. Kalau gereja tidak mengajarkan kebenaran, tidak menghadirkan hadirat Allah, maka jemaat pulang seperti pasien ke rumah sakit tanpa perawatan. Jadi tidak heran ada orang Kristen yang dari kecil ke Sekolah Minggu, namun sampai tua tidak nampak pertumbuhan karakter Kristus dalam hidupnya. Mungkin dia makin bijaksana atau makin sabar, tetapi ia tidak menunjukkan kecemerlangan Allah. 

Kalau kita benar-benar memercayai bahwa Allah yang kita sembah adalah Allah

yang hidup, yang nyata, dan Mahahadir, maka keyakinan tersebut

pasti akan terpancar nyata dalam hidup;

yang bisa dilihat dan dirasakan orang di sekitar kita.