Skip to content

Hidup yang Disita

Saudaraku,

Menurut yang saya pahami dan bercermin pada diri sendiri, banyak orang belum mengalami Tuhan. Dan hal ini membuat saya berduka. Tentu mengalami Tuhan itu bukan hanya pengalaman liturgi, berdoa lama di menara doa misalnya, bukan itu. Seremonial atau kebaktian—baik itu kebaktian umum, kebaktian keluarga, atau berdoa di ruang doa—masih bersifat liturgi, dan seringkali masih merupakan satu pengalaman keagamaan, bukan atau belum merupakan pengalaman dengan Tuhan. Namun yang lebih menyedihkan adalah ketika para teolog yang belajar teologi, lalu mereka merasa sudah mengalami Tuhan, padahal belum. Memang pintar berbicara dan bisa memaknai setiap kejadian atau peristiwa sebagai pengalaman perjumpaan dengan Allah, padahal itu masih psudo (palsu), masih fantasi.  

Pengalaman dengan Tuhan adalah sesuatu yang benar-benar riil. Seperti yang dikatakan dalam Ibrani 11:6, bahwa kalau kita mencari Allah dan kita percaya Allah itu ada, dan Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia, tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah, sebab barangsiapa berpaling kepada Allah ia harus percaya bahwa Allah ada dan bahwa Allah memberi upah bagi orang yang sungguh-sungguh mencari Dia. Kita lihat bagaimana hidup Abraham disita seluruhnya untuk memenuhi panggilan yang Allah Bapa berikan kepadanya, yaitu meninggalkan Urkasdim untuk menemukan negeri yang Tuhan tunjukkan. Walaupun sampai Abraham neninggal ternyata ia belum menjumpai negeri itu. Dan dalam Ibrani 11, ternyata negeri itu adalah langit baru bumi baru. Orang yang benar-benar mengalami perjumpaan dengan Allah, pasti hidupnya disita untuk memenuhi panggilan-Nya.

Saudaraku,

Yang mencemaskan hati saya, yang membuat gundah adalah banyak orang Kristen—termasuk saya dulu—masih hidup wajar seperti manusia lain dengan prinsip-prinsipnya. Hanya bedanya kita ke gereja, dan kita memanggil nama Yesus. Tetapi dalam prinsip-prinsip pada umumnya, filosofi yang kita kenakan, tidak beda dengan anak dunia. Dan orang-orang tertentu, merasa kalau dia sudah berbicara tentang Tuhan—khususnya berteologi—dia rasa-rasanya sudah masuk wilayah Allah, dia sudah membela Tuhan. Bahkan tidak sedikit orang melakukan itu untuk mengisi hidupnya.  Sebenarnya ia berbuat demikian disertai dengan ambisi untuk terhormat, dihargai, paling tidak disamaratakan dengan yang lain. 

Dan supaya lebih meningkatkan harga dirinya, maka ia menyerang pendeta lain yang sudah lebih terkenal dari dirinya lebih eksis. Padahal orang-orang seperti itu belumlah berprestasi. Entah bagaimana dia bisa menyerang orang dan merasa kalau memiliki teologi yang dianggap benar itu membuat dia lebih dekat dengan Tuhan, lebih membela Tuhan, lebih berkenan di hadapan Tuhan, seakan-akan ilmu teologi yang lebih tinggi bisa semakin mendekati Allah, makin benar, makin berkenan kepada Allah. Saudara, itu adalah sebuah penyesatan.

Kita harus belajar teologi dengan benar, harus. Tetapi perjumpaan dengan Allah dalam hidup setiap hari itu yang penting. Dan orang yang mengalami perjumpaan dengan Allah itu, pasti akan nampak dari tutur katanya, dari ucapan-ucapannya, dari karya-karyanya yang nyata bagi sesamanya, bukan hanya dari khotbahnya, bukan hanya dari paparan teologinya. Dengan adanya media sosial ini banyak orang yang mengangkat diri melalui keberaniannya berbicara. 

Saudaraku,

Jadi orang yang benar-benar mencari Allah, hidupnya pasti disita hanya untuk mencari Allah. Tuhan bukan menjadi tambahan (suplemen) dalam hidupnya. Tuhan itu adalah segenap hidup kita. Maka Tuhan Yesus pun berkata, “Makanan-Ku adalah melakukan kehendak Bapa, dan menyelesaikan pekerjaan-Nya.” Hidup kita pun disita untuk itu. Namun karena kita telah memiliki irama hidup yang salah selama bertahun-tahun, kita merasa punya hak untuk melakukan kegiatan lain, walaupun kegiatan itu belum tentu menyenangkan hati Allah. Biasa dengan kegiatan-kegiatan itu, maka kita telah terjebak dengan irama yang salah.

Mari, selagi kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, kita harus memperbaiki diri. Segenap hidup kita kiranya disita sepenuhnya untuk Tuhan; bagaimana kita mengalami Tuhan di dalam setiap keputusan kita, tindakan kita, dalam pergumulan hidup kita. Jadi melalui pergumulan-pergumulan yang kita alami, di situ kita bisa menemukan Tuhan, menjumpai Tuhan. Artinya mengerti kehendak-Nya. Kalau Saudara, misalnya terpanggil menjadi pendeta, silakan berteologi, silakan berbicara di gereja, di seminar, di media sosial, tetapi dengan tutur kata yang baik, dan mengubah manusia. Bukan hanya mentransfer knowledge atau pengetahuan, dimana semua itu sudah ada di buku. Kita jangan norak. Tetapi bagaimana kita menyampaikan suara Tuhan, kebenaran Tuhan kepada umat, dan umat benar-benar diubahkan. Itu yang penting.

Saya menyadari betapa gereja telah menyimpang selama berabad-abad sejak Kekristenan menjadi agama negara. Sekarang kita mau kembali kepada kehidupan Yesus. Jangan tersandera oleh pandangan para teolog, keputusan konsili, walaupun tidak semua keputusan konsili itu salah. Jangan terikat! Kita harus berurusan dengan pemilik Firman, yaitu Tuhan, yang hari ini nyata hidup, yang kita temui setiap hari, kita bersama temui, yaitu Elohim Yahweh, Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Percayalah Allah yang kuat menyertai Saudara. Jangan takut!

Teriring salam dan doa,

Erastus Sabdono

Orang yang benar-benar mengalami perjumpaan dengan Allah, pasti hidupnya disita untuk memenuhi panggilan-Nya.