Skip to content

Hidup yang Bernilai

Hidup itu luar biasa. Kita sudah menjalani hidup selama 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun, 50 tahun atau lebih. Karena sudah terbiasa menjalani hidup, kita lupa untuk menghargai dan menilai hidup secara benar. Karena apa yang sudah biasa kita lakukan atau kita miliki, menjadi tidak luar biasa. Ketika seseorang beli mobil mewah, pada hari pertama, betapa dia menghargai mobil itu; mungkin bertahan hingga bulan pertama, atau dua bulan pertama. Mobil itu terasa berharga. Tetapi 5 tahun kemudian tidak bernilai lagi. Dan memang nilai dari mobil itu juga kemudian merosot. 

Kuasa kegelapan menipu, dia penipu; Satan is a liar. Dia membisikkan kalimat yang kita tidak sadari melalui kejadian, peristiwa, percakapan, film, atau lagu bahwa hidup ini tidak bernilai. Dan sebaliknya, yang bernilai adalah ketika kita punya rumah besar, mobil bagus, popular, cantik, ganteng, terhormat, berpendidikan tinggi, aman, jauh dari ancaman. Dan hampir semua orang tersesat di sini. Bagi pendeta, ia merasa bernilai kalau jadi pendeta besar, gereja besar, pimpinan besar, ketua sinode. Tambah bernilai kalau anggotanya ada pejabat tinggi, anggota DPR, pengacara terkenal, yang bisa disebut-sebut dalam khotbahnya.

Hidup ini bernilai bukan karena hal itu. Hidup ini bernilai kalau kita ada di jalan Tuhan. “Di jalan Tuhan” artinya dalam kebersamaan dengan Tuhan. Kalau bagi umat Perjanjian Lama, “di jalan Tuhan” artinya mengikuti rencana-Nya. Abraham mengikuti rencana Allah. Ia keluar dari Ur-Kasdim, dibawa Tuhan ke negeri yang Tuhan hendak tunjukkan. Tetapi, ternyata sampai mati pun dia tidak pernah menemukan negeri itu, hanya melihat dari jauh, dan negeri itu adalah Langit Baru Bumi Baru (Ibr. 11). Dikatakan berjalan bersama Tuhan selama mereka melakukan hukum (hukum TUHAN) dan mengikuti rencana Allah. 

Tetapi, bagi umat Perjanjian Baru bukan begitu saja. Tentu kita harus memenuhi rencana Allah. Dikatakan “berjalan bersama dengan Tuhan” kalau Tuhan tinggal di dalam kita, dan kita tinggal di dalam Dia; “Hidupku bukan aku lagi, tetapi Kristus yang hidup di dalam aku.” Jadi, kebersamaan dengan Tuhan berarti ada dalam persekutuan. Maksudnya adalah supaya kita mengalami proses perubahan sampai menjadi serupa dengan Tuhan atau berkodrat ilahi (2Ptr. 1:3-4) atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 12:9-11).

Kebersamaan dengan Tuhan adalah persekutuan dengan Tuhan, agar kita memilki sifat Allah, karakter Allah. Dan itu tujuan dari hidup baru, sehingga hidup jadi berarti. Hidup ini bernilai karena ada kesempatan untuk itu. Bukan kesempatan menikah, punya anak, punya rumah, punya mobil, terhormat. Bukan tidak boleh, tetapi itu semua bukan target atau alasan kita hidup. Jadi, hidup itu bernilai karena ada kesempatan. Bagi kita sebagai umat pilihan, kesempatan untuk bersama dengan Tuhan. Bersama dengan Tuhan bukan berarti Tuhan ada di samping kita, melainkan Ia ada di dalam kita

Kita bersyukur karena Tuhan memiliki toleransi yang sangat panjang. Seperti orang tua, toleransinya panjang untuk anak-anak. Waktu anak masih kecil, ketika ia lapar, ia nangis saja. Tetapi orang tua tidak merasa disusahkan. Malah dianggap menyenangkan. Ketika remaja, kadang-kadang menyakiti orang tua, dan orang tua masih bisa berkata: “It’s ok.” Tetapi orang tua ingin, suatu hari mereka menjadi seperti yang orang tua mau. Jadi, kalau seorang anak ada di satu keluarga, keberhargaannya adalah bagaimana anak itu menjadi seperti filosofi orang tua. Kalau orang tuanya punya filosofi-filosofi hidup yang baik—harus studi, bisa mandiri, bermoral baik—itu adalah kesempatan. 

Kesempatan kita juga begitu; menjadi umat pilihan yang boleh tinggal di dalam Tuhan. Sebab, tidak ada cara lain untuk menjadi serupa dengan Yesus atau memiliki karakter Allah Bapa, sesuai rancangan Allah semula, segambar dan serupa dengan Dia kecuali Roh-Nya tinggal di dalam kita. Dalam kesabaran yang tinggi, sering kali Tuhan didukakan, dilukai tetapi Ia terus membimbing kita. Tuhan mau bimbing kita dalam kebersamaan-Nya. Kita harus serius untuk hal ini, karena satu-satunya tujuan hidup kita adalah bersekutu dengan Dia agar kita semakin disempurnakan. Di luar ini, celaka. 

Kita bisa menolak keselamatan, lalu binasa. Keselamatan adalah dikembalikannya manusia ke rancangan Allah semula. Dan itu bisa berlangsung, kalau Dia tinggal di dalam kita. Kalau bangsa Israel tidak perlu “Roh Allah tinggal di dalam diri kita,” karena standarnya adalah melakukan hukum dan memang tidak bisa. Kenapa tidak bisa? Karena Yesus belum mati di kayu salib menebus dosa kita. Belum ada pembenaran. Kalaupun Roh Kudus menghinggapi seseorang, sifatnya temporal, insidentil atau sementara. Tetapi dengan Yesus mati di kayu salib, kita diampuni, dianggap tidak berdosa walaupun berkeadaan berdosa. Dan Allah punya tatanan itu. 

Hidup ini bernilai kalau Tuhan tinggal di dalam kita, dan kita tinggal di dalam Dia.