Efesus 4:27 mengatakan, “dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” Ayat ini hendak mengingatkan kita dengan berbagai jenis perilaku yang biasa terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya dalam kehidupan orang percaya. Misalnya, pada waktu kita berkendara di jalan ada orang yang memotong jalan kita, lalu kita bereaksi dengan memaki dan memotong jalannya juga; hal itu berarti kita memberi kesempatan kepada Iblis yang kemudian mendukakan Roh Allah. Ketika kita dihina orang, direndahkan orang—apakah itu kolega bisnis, teman, atasan, bawahan—lalu kita tergoda untuk membalas dendam, kita bereaksi keras, di sini kita memberi kesempatan kepada Iblis. Tapi kalau kita berdiam diri, kita menyenangkan hati Allah. Inilah kondisi dimana kita harus memilih. Hal seperti ini bisa terjadi atas semua kita.
Ironis, banyak orang yang telah tercengkeram oleh kuku-kuku kuat kuasa gelap, sehingga tindakan-tindakan yang bertentangan dengan spirit/gairah Allah itu dilakukannya setiap hari. Bukannya mengalami perubahan, mengenakan hidup baru, semakin diperbaharui dalam Tuhan, malah semakin rusak. Tetapi Iblis tentu cakap untuk bisa membalut kejahatan tersebut dengan tindakan-tindakan yang kelihatannya mulia. Sehingga ia tidak menyadari dirinya sedang ada dalam kekuasaan kuasa gelap. Apalagi kalau orang tersebut sudah rajin ke gereja, ikut mengambil bagian dalam pelayanan, menjadi aktivis gereja, bahkan menjadi pendeta. Ia tetap berpotensi untuk dikuasai oleh Iblis sehingga tertipu oleh diri sendiri. Seorang hamba Tuhan yang berkhotbah di mimbar sambil membuka Alkitab, tidak berarti kebal terhadap Iblis. Pada waktu ia berkhotbah lalu muncul sesuatu dalam pikirannya untuk menunjukkan dirinya hebat, membanggakan diri—baik terselubung maupun terang-terangan—di situlah Iblis masuk.
Hidup ini adalah satu pembelajaran terus-menerus. Banyak di antara mereka yang telah yakin dan merasa sebagai hamba Tuhan yang benar, padahal belum tentu diakui sebagai hamba Tuhan oleh Tuhan. Ini menjadi persoalan kita. Maka, pertanyaannya adalah apakah Allah mengakui kita sebagai hamba-Nya? Kita mengaku sebagai anak-anak Allah; masalahnya, apakah Allah mengakui kita sebagai anak-anak-Nya? Pengakuan sebagai hamba Tuhan harus berangkat dari Allah, bukan dari manusia, juga bukan dari sinode. Seseorang bisa disahkan sebagai pendeta atau pejabat sinode, dan dengan lantang mengakui diri sebagai hamba Allah. Tetapi, apakah Allah memberi pengakuan tersebut? Untuk ini, kita harus sungguh-sungguh memperkarakannya. Supaya kelak ketika kita meninggal dunia, Tuhan menerima kita sebagai anak-anak dan hamba-hamba-Nya. Terus terang, ini bukan merupakan suatu hal yang sepele. Maka kita harus selalu memeriksa diri, apakah kita ini hamba Tuhan yang benar atau tidak? Sejatinya, semua orang percaya adalah hamba Tuhan.
Setiap peristiwa yang kita alami dalam setiap hari pasti memuat pilihan. Harus diselidiki dengan serius bagaimana reaksi kita terhadap suatu peristiwa yang terjadi dalam hidup? Pada waktu orang minta tolong kita, bagaimana reaksi kita? Waktu kita dipuji, disanjung, dihormati orang, bagaimana reaksi kita? Waktu kita disakiti, dihina, direndahkan, difitnah, bagaimana reaksi kita? Semua itu adalah proses pembelajaran. Proses pembelajaran itu harus dilakukan tanpa henti. Jangan puas kalau kita sudah menjadi seorang yang terhormat, diakui rohani, hamba Tuhan, pendeta. Jangan puas sampai di situ. Kita harus memiliki hati yang tulus seperti kristal. Kristal tidak dapat dilunturkan atau dirusak dengan lumpur.
Dengan mengingini sesuatu, maka hati kita terarah kepada apa yang kita ingini tersebut, dan dia menjadi majikan. Banyak orang Kristen tanpa sadar menjual diri kepada kuasa gelap ketika memikirkan apa yang Allah tidak pikirkan. Jadi, kita harus belajar memikirkan apa yang Allah pikirkan. Kalau hidup kita hanya melihat dunia fana ini, kita akan melihat ini sebagai suatu hal yang sulit bahkan mustahil. Tapi kalau kita melihat kekekalan, kita akan berkata “tidak masalah, hanya 70 tahun.” Tuhan mengikat kita, membelenggu kita, supaya kita tidak menjadi liar dengan segala keinginan. Belenggu tersebut diberikan supaya kita bisa membangun diri untuk bisa hidup dalam ketertundukan total. Supaya nanti kalau kita meninggal, kita sudah terlatih untuk hidup dalam ketertundukan. Nanti di surga, kita akan menikmati kehidupan yang sempurna.
Setiap persitiwa yang kita alami dalam setiap hari hidup pasti memuat pilihan.