Skip to content

Hidup dalam Pengabdian

Kalau murid-murid mengenal siapa yang bersama mereka dalam perahu, maka ketika ombak bergelora, angin menghantam, dan air masuk memenuhi perahu, pasti mereka akan tetap tenang. Kalau mereka percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang berkuasa, mestinya tidak ada kalimat: “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” Setiap kita pasti menemukan pengalaman ketika orang marah terhadap Tuhan; “Mengapa Tuhan tidak menyertai, kenapa keadaan menjadi begini?” Atau mungkin kita sendiri juga begitu. Itu merupakan indikasi, petunjuk bahwa kita tidak memiliki hidup dalam penyertaan Tuhan atau persekutuan yang intim dengan Allah. 

Ciri yang ketiga dari orang yang hidup dalam penyertaan Tuhan adalah tidak takut menghadapi kematian. Dalam Filipi 1:21 Paulus mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan.” Dan di dalam ayat yang lain, Paulus mengatakan, “Tetapi kalau aku disuruh memilih hidup atau mati, aku memilih bersama-sama dengan Tuhan.” Dan banyak ayat lain yang menunjukkan pengharapan kematian itu sebagai sesuatu yang indah. Paulus yakin bahwa kematian itu indah. Jadi kalau seseorang takut meninggal dunia, pasti ada yang salah dalam hidupnya. Kalau orang hidup di dalam penyertaan Tuhan, pasti kematian tidak menakutkan. Memang tidak bisa dibuktikan atau tidak perlu dibuktikan. Namun, orang nanti akan bisa mengendus, bisa melihat keistimewaan kita. Kesaksian di dalam batin ini menyangkut keberanian menghadapi hidup. 

Yang terakhir, pengabdian. Orang yang benar-benar mengenal Tuhan, dan hidup di dalam penyertaan Tuhan atau memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, maka tidak mungkin tidak hidup dalam pengabdian kepada Tuhan. Maka kalau kita menghayati keagungan Tuhan, pasti kita akan memberikan pengabdian yang limpah, sampai tidak terbatas. Seberapa kita betul-betul menghormati Tuhan, memandang Dia berharga, memandang Dia bernilai? Dan itu harus kita alami. Bukan fantasi, bukan sekadar keyakinan. Yakin Allah Maha Besar, yakin di dalam nalar lalu berfantasi tentang Allah yang besar, tetapi kita tidak memiliki kesaksian dalam batin karena tidak ada perjumpaan dengan Dia. 

Semua orang Kristen juga bisa menyanyi, “Then sings my soul, My Saviour, God, to Thee, how great Thou art,” bisa. Namun, seberapa seseorang benar-benar menghayati kebesaran Allah tersebut? Penyembahan kita diendapi dengan sikap menghayati Tuhan atau tidak, itu pasti terasa. Ini pengalaman riil bergaul dengan Allah. Di dalam penyembahan, kita menyanyi dengan tulus. Tentu harus dilatih. Kita bisa berdoa tahan lama, karena kita menghargai dan menghormati Tuhan. Dia agung, Dia mulia. Rasanya kita tidak ingin cepat-cepat berkata, “Amin.” Beda dengan orang yang kualitas hidupnya dalam penyertaan Allah itu rendah, maka ia tidak betah berdoa. Sejujurnya, seberapa kita punya keberanian menghadapi hidup dengan segala tantangannya? Seberapa kita membenci dosa? 

Kalau kita punya nilai rendah, berarti kita harus mengembangkan persekutuan dengan Allah atau mengembangkan kehidupan dalam penyertaan dengan Tuhan. Kita harus menggandakan waktu menyembah Tuhan, waktu berdoa, kalau perlu puasa. Walau peningkatannya kadang-kadang tidak signifikan, tetapi pasti ada perubahan. Jadi, kekristenan adalah sebuah jalan hidup yang dinamikanya itu nyata. Kalau seseorang tidak mengalami proses pertumbuhan dan ia juga tidak mempersoalkannya, betapa mengerikan kalau suatu kali dia menutup mata. Dalam keadaan miskin, tidak berbuat apa-apa bagi Tuhan, dia menghadap Tuhan, betapa mengerikan. Ingat, kita tidak boleh sama dengan dunia sekitar kita. Marilah kita memiliki pola dan gaya hidup yang berbeda dengan mereka yang bukan umat pilihan. 

Satu-satunya dunia kita adalah Tuhan. Kalau kita melakukan berbagai kegiatan di dalam hidup ini, fokusnya hanya Tuhan. Dan ini standar. Alkitab pun jelas berkata, “Baik kau makan atau minum atau melakukan sesuatu yang lain, lakukan semua untuk kemuliaan Allah.”  Untuk itu, kita harus serius mengoreksi diri, seberapa kita benar-benar telah menghayati hidup dalam penyertaan Tuhan, apakah persekutuan kita dengan Tuhan sudah intim atau belum. Kiranya kita dapat bersyukur karena kondisi hidup kita sekarang ini justru mendorong kita untuk 24 jam di hadapan Allah, gerakan hidup suci. 

Kita juga sadar ada keinginan yang belum mati total. Rasanya selama masih memiliki daging, keinginan bisa menjadi duri dalam daging. Namun, kondisi hidup yang Tuhan izinkan kita alami, kiranya membawa kita untuk nekat. Tuhan pasti memenuhi janji-Nya. Roh Kudus pasti membawa kita kepada seluruh kebenaran. Jadi kalau kita benar-benar mempersoalkan hal ini, Roh Kudus pasti bicara, memberitahu. Apakah itu kecemasan, kekhawatiran kita yang masih besar, hidup yang belum benar-benar bersih, atau masih punya ketakutan terhadap realitas kematian, masih perhitungan dengan Tuhan, tidak memberikan pengabdian yang terbaik; Roh Kudus pasti beri tahu.

Kesempatan untuk membuat hidup kita bernilai di hadapan Allah, itu terbatas. Jadi kalau kita masih memiliki kesempatan, kita harus menghargai kesempatan itu. Setiap hari ketika kita mulai membuka mata di pagi hari, lihatlah kemungkinan-kemungkinan besar yang Tuhan berikan kepada kita untuk dapat berjalan secara intim dengan Tuhan. 

Orang yang hidup dalam penyertaan Tuhan

atau memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan,

tidak mungkin tidak hidup dalam pengabdian kepada Tuhan.